TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini memeriksa dua hakim konstitusi terkait dugaan suap terhadap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif Akil Mochtar.
Akil sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Gunungmas dan Kabupaten Lebak.
Dua hakim yang diperiksa KPK adalah panel hakim Akil yakni Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, mengatakan dalam kasus dugaan suap tersebut, kedua hakim tersebut bisa saja tidak terlibat karena Akil Mochtar bisa memanfaatkan jabatannya sebagai ketua Makamah Konstitusi (MK) dan Ketua panel untuk memaksakan keputusan.
"Bisa jadi dalam konteks Pak Akil yang didampingi dua hakim konstitusi lainnya Bu Maria dan Pak Anwar Usman, bisa jadi mereka membiarkan saja apa yang dipaksakan oleh Akil. Kita tahu kan AM ini kan selain itu dia ketua panel, dia juga ketua MK. Dia bisa 'memaksakan' sebuah keputusan. Hakim lain bisa jadi cuma sekedar membiarkan saja, tak mau ribut dalam kasus Lebak misalnya," ujar Refli di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Rabu (16/10/2013).
Refli mengatakan harus tetap menghargai asas praduga tak bersalah hingga terbukti di pengadilan. Refli yang pernah mengadukan Akil memeras Bupati Simalungun JR Saragih tahun 2010 mengatakakan keputusan MK ada yang normal dan tidak normal.
"Nah keputusan yang normal itu bisa saja tidak ada suapnya, bisa saja diperas pemenangnya. Apalagi yang tidak normal. Saya katakan normal dan tidak, tak menentukan normal dan tidak semua punya potensi suap. Kita tidak bisa berspekulasi keputusan normal tidak ada suapnya. Karena suap itu sendiri sebenarnya terjadi pada semua putusan, normal atau tidak normal," kata dia.