TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah besar atas penyadapan telepon yang dilakukan badan intelijen Australia terhadap dirinya dan sejumlah pejabat penting Indonesia lainnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada permintaan maaf secara resmi dari pemerintah Australia yang berujung pada beberapa tindakan tegas yang dilakukan oleh SBY. Kemarahan tersebut direspon dengan berbagai kebijakan, salah satunya adalah perintah penghentian latihan militer antara Indonesia dan Australia.
Langkah tegas oleh SBY memunculkan sejumlah spekulasi di tengah masyarakat, antara lain terjadinya kontak senjata antara kedua negara. Soal itu mantan Kepala Staf Angkatan Laut Indonesia, Laksamana Purnawirawan Tedjo Edhy menegaskan, tidak akan terjadi perang antara Indonesia dan Australia.
“Tidak akan terjadi perang antara Indonesia dan Australia. Karena proses menuju perang itu sangat panjang,” ujarnya, Jumat (22/11/2013).
Lebih jauh dikatakannya, dari segi jumlah pasukan, Indonesia memang jauh lebih unggul dibanding Australia. Namun tidak demikian halnya dengan kecanggihan peralatan dan teknologi.
“Tidak akan ada perang antara Indonesia dan Australia. Apa lagi tindakan penyadapan yang dilakukan Australia adalah hal yang lazim terjadi di banyak negara,” ujar Tedjo Edhy.
Meskipun demikian, pemerintah Indonesia harus tetap berupaya membangun kekuatan militernya agar menjadi lebih baik untuk menanggulangi ancaman negara tetangga yang mungkin timbul pada masa mendatang.
“Si Vis Pacem Para Bellum, siapa ingin damai bersiaplah untuk perang,” ujar Tedjo.
Senada dengan Tedjo Edhy, praktisi hukum yang saat ini tengah mengambil studi kajian strategis intelejen di Universitas Indonesia, Haghia Sophia Lubis, SH., LLM mengatakan, dalam konteks hubungan internasional dan dunia intelejen, praktik penyadapan bukanlah hal yang asing.
“Penyadapan terjadi di hampir setiap kedutaan besar. Motifnya adalah keamanan negara penyadap,” terang Haghia Lubis.