TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wanita asal Brisbane, Australia, Schapelle Leigh Corby (37) terus menghadirkan kontroversi. Mulai isu seputar hukuman seumur hidup, vonis 20 tahun, pengampunan atau grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga pembebasan bersyarat kepadanya, selalu menuai pro dan kontra, menolak lawan mendukung.
Kisah pilu Corby bermula 8 Oktober 2004. Saat iut, personel Imigrasi di Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali menemukan mariyuana atau ganja seberat 4,1 kilogram dalam tas selancarnya. Corby ditangkap dan diproses hukum. Dan sejak itulah perempuan kelahiran 10 Juli 1977 itu berurusan dengan penegak hukum Indonesia.
Menjadi pesakitan di persidangan, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Krobokan dengan dakwaan sebagai penyelundup narkotik membuat Corby semakin tertekan. Apalagi, kasus yang menimpanya, dia sempat diancam jerat hukuman mati atau penjara seumur hidup. Corby sempat pingsan akibat stres berat saat persidangan.
Corby seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane. Saat ditangkap, di dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja. Ia membantah barang haram tersebut miliknya.
Dia tidak mengetahui ada ganja dalam tasnya sebelum tas tersebut dibuka petugas bea cukai di Bali. Sedangkan versi petugas bea cukai mengatakan Corby mencoba menghalangi petugas saat akan memeriksa tasnya.
Sebagai catatan, ayah kandung Schapelle Corby, Michael Corby, sebelumnya pernah tertangkap basah membawa ganja pada awal tahun 1970-an.
Corby dinyatakan bersalah atas tuduhan yang diajukan terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada vonis 27 Mei 2005.
Ia juga didenda sebesar Rp 100 juta. Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Dan pada 12 Oktober 2005, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun.
Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya.
Tidak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun tangan untuk kasus Corby. Yudhoyono memberikan grasi atau pengurangan masa tahanan Corby.
Pada 15 Mei 2012, Presiden SBY menerbitkan tiga Keputusan Presiden (Keppres) Grasi untuk terpidana narkoba. Keppres nomor 22/G Tahun 2012 tentang pemberitan grasi kepada terpidana kasus narkoba Corby, Keppres nomor 23/G Tahun 2012 untuk Peter Achim Franz Grobmaan (warga negara Jerman).
SBY memberi grasi lima tahun dari total vonis penjara selama 20 tahun untuk Corby, dan Franz dari lima tahun menjadi tiga tahun.
Grasi presiden segera digugat Gerakan Nasional Anti Madat (Granat) yang menolak dan menggugat Keputusan Presiden terkait pemberian grasi pada dua terpidana narkoba.
Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Granat mempertanyakan dasar dan pertimbangan Presiden Yudhoyono memberikan grasi pada warga negara Jerman, Peter Achim Frans Grobmann.
Peter ditangkap petugas Bea dan Cukai Ngurah Rai, Bali, pada 10 Maret 2010. Penangkan sesaat setelah turun dari pesawat. Peter yang hendak berlibur ke Bali dan Papua Nugini kedapatan menyimpan ganja seberat 2,2 gram di dalam tas kopernya.
Ia mengajukan grasi lantaran tidak puas dengan keputusan kasasi yang memvonisnya 5 tahun penjara. Di tingkat banding, Peter divonis 4 tahun penjara. Dalam amar putusan kasasi, Peter dinilai melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dengan diberikan grasi lima tahun kepada Corby lewat Keppres No. 22/G Tahun 2012 tanggal 15 Mei 2012, hukuman Corby berkurang dari 20 tahun penjara menjadi 15 tahun penjara. Corby menjadi terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali sejak tanggal 9 Oktober 2004.
Warga negara Australia ini pernah mendapat remisi sejak tahun 2006 sampai 2011. Total remisi yang diperoleh Corby hingga tanggal 15 Mei 2012 adalah 25 bulan. Akan tetapi, tahun 2007 Corby tercatat tidak mendapat remisi karena melakukan pelanggaran membawa handphone.
Apabila menggunakan rumusan baku yakni dua per tiga menjalani masa hukuman, Corby berpeluang pembebasan bersyarat (PB) pada tanggal 3 September 2012. Namun pembebasan bersyarat baru diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Jumat, 7 Februari 2014. (tribunnews/eri/amb)