TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengkritik liputan khusus wawancara sebuah media internasional dengan Schapelle Leigh Corby, terpidana kasus narkoba asal Australia, yang baru saja diberikan pembebasan bersyarat oleh pemerintah Indonesia.
"Mari kita lihat berapa nilai wawancara yang diberikan ke Corby. Ini ramai diperbincangkan. Apa perlu seperti itu?" kata Akhiar dalam diskusi ‘Revisi RUU KUHAP’ bersama Direktur Advokasi PSHK, Ronald Rofriandari di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Dilaporkan media Australia news.com.au, Senin (10/2/2014), bahwa Channel Seven berhasil melakukan wawancara khusus dengan Corby setelah mendapat pembebasan bersyarat bersama lebih dari 1.000 narapidana lain di seluruh Indonesia, Jumat (7/2/2014). Corby baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Denpasar, Bali, Senin pagi tadi, namun dia langsung mendapatkan rezeki dikontrak untuk wawancara khusus Rp 32 miliar.
Akhiar mengkritik soal pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Corby. "Seharusnya ada penegasan hukum yang dimaksud bebas bersyarat," kata dia.
Menurut dia, grasi bebas bersyarat jika merujuk pada KUHAP, diberikan setelah terpidana menjalani hukuman dua pertiga penjara. Dari penjelasan itu, Akhiar pun mempertanyakan keputusan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM yang memberi kebebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi.
"Pidana yang mendapat bebas bersyarat itu tidak boleh pada kasus kejahatan narkoba, korupsi, dan terorisme karena ketiga kejahatan tersebut dampaknya sangat besar dan luas yang merusak bangsa ini," tegasnya.
Dia minta hak asasi manusia (HAM) tidak dijadikan alasan atau justifikasi untuk memberikan grasi kepada kejahatan narkoba. Menurut dia, ke depan perlu diatur lebih jelas dan konkrit. Hal ini menjadi kewajiban DPR RI, pers dan masyarakat untuk mengkritisi bersama. "Jangan hanya mengejar target, tapi kualitas terabaikan," ujarnya