Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fahri Hamzah menilai kekalahan UU Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Judicial Review wajar. Sebab, UU yang berasal dari Perppu ini sejak awal memang ganjil.
Pertama, kata Fahri, asumsi Presiden bahwa ada keadaan darurat itu tak bisa diterima. Tidak ada situasi darurat. "Jika Hakim MK berhenti mekanisme pergantiannya sudah jelas. Jangankan MK, Presiden pun berhenti bukan darurat sudah ada mekanisme suksesinya," kata Wasekjen PKS itu ketika dikonfirmasi, Jumat (14/2/2014).
Kedua, ujarnya, ketentuan-ketentuan yang ditambahkan oleh Presiden dalam UU MK itu merupakan ketentuan yang tidak perlu. Termasuk di dalamnya terkait panel ahli padahal itu membuat rumit proses. "Ketentuan lama itu sudah bagus sebab itu mewakili ketiga kekuatan pengusul; DPR, MA dan Presiden sebagai kekuatan legislatif, judikatif dan eksekutif," imbuhnya.
Ketiga, tutur Fahri, soal pengawasan hakim memang lembaga-lembaga kekuasaan judikatif harusnya memiliki mekanisme pengawasan internal untuk menghindarinya dari intervensi pihak lain. "Independensi bagi lembaga yang merupakan wakil Tuhan itu adalah mutlak. Dan ketentuan contempt of court itu memang diperlukan," katanya.
Ia mengungkapkan kasus Akil Mochtar dan penggeledahan kantor MK dan dulu ruangan ketua MA adalah tindakan berbahaya bagi wibawa hukum.
"Ada cara menjatuhkan hakim. Tidak bisa dengan menyadap dan menggeledah nya seperti warga negara biasa. Sebab kalau begitu Presiden juga nanti bisa-bisa dipermudah penjatuhan nya dan mau apa negeri ini jadinya?" tuturnya.
Karena itu, ujar Fahri, Presiden SBY harus evaluasi persepsinya soal darurat. Yang darurat saat ini, imbuh Fahri, adalah permainan hukum akibat munculnya lembaga-lembaga semi negara atau state auxilliary body.
"Korupsi misalnya itu sudah darurat sebab ini tidak sedang diberantas tapi diternak untuk disembelih atau dipelihara untuk dipanen. Kalau begitu kapan selesainya?" imbuhnya.
"SBY harus sadar bahwa kerusakan ini juga bisa membuat SBY dan keluarganya menjadi korban berikutnya dari ketidakpastian hukum ini," tambahnya.