TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie bisa memahami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan surat kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan ke DPR terkait revisi KUHP dan KUHAP.
Sekedar informasi, surat yang ditandatangani Ketua KPK Abraham Samad itu berisikan permintaan penghentian pembahasan revisi KUHP dan KUHAP tersebut.
Pakar hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie melihat permintaan penghentian pembahasan revisi KUHP dan KUHAP terjadi karena KPK tidak dilibatkan dalam pembahasannya.
"Itu terjadi mungkin karena tidak ada komunikasi saja. KPK tidak dilibatkan barangkali," ungkap Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini kepada Tribunnews.com, di sela Diskusi Panel "Peran dan Tanggungjawab Gereja dalam Mewujudkan Pemilu 2014 yang bermartabat dan Berkualitas", di Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sidang Yeremia, Jakarta, Sabtu (22/2/2014).
Menurut Jimly, seharusnya lembaga-lembaga yang akan terkait dengan suatu rancangan UU, dilibatkan dalam pembuatannya. Meskipun lembaga tersebut ranahnya berada di luar eksekutif, sebaiknya pemerintah melibatkan mereka.
Misalnya, imbuh dia, saat pembuatan UU Kejaksaan atau kepolisian, lembaga Kejaksaannya dan kepolisiannya tidak diundang, hanya karena formal timnya di Kementerian.
Lebih lanjut menurut dia, dengan melibatkan KPK, ini juga bisa menghilangkan mis-persepsi atau curiga-mencurigai. Seperti isu pengkerdilan KPK.
"Jadi itu mungkin KPK-nya itu belum cukup dilibatkan. Itu yang menjadi masalahnya. Padahal ternyata bisa jadi karena mis-persepsi. Ini bisa terjadi karena tidak ada komunikasi. Artinya, itu bisa jadi KPK tidak dilibatkan. Dan itu tetap tidak benar," ungkapnya.
Karena itu, dia menyarankan, sebaiknya KPK dilibatkan dalam pembahasan dan penyusunan revisi UU KUHP dan KUHAP.