Tribunnews.com, Jakarta - Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan, seharusnya Timwas Century DPR memanggil dirinya agar mereka mengetahui duduk perkara permasalahan yang sebenarnya mengenai situasi perekonomian dan perbankan pada saat krisis finansial tahun 2008, serta kasus Bank Century.
"Selama ini, sebagai ketua Perbanas, Saya belum pernah dipanggil Timwas Century DPR. Padahal untuk mengetahui situasi perbankan pada saat itu, DPR harusnya mengundang seorang bankir. Mungkin karena pemikiran saya tidak sejalan dengan apa yang diinginkan Timwas. Saya siap dipanggil kapanpun," ungkap Sigit Pramono saat mengadakan diskusi dengan media di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2014).
"Mari kita pisahkan, menyelamatkan Bank Century dengan masalah yang ada di Century itu sendiri," ujar dia.
Mantan Direktur Utama BNI ini menganalogikan pesawat yang terbang pada saat langit cerah, namun mengalami turbulensi, di mana orang di darat melihat ke pesawat seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal penumpang di dalam pesawat mengalami guncangan yang hebat. Itulah kondisi krisis finansial yang terjadi pada 2008, yang membuat resah kalangan perbankan.
"Bank sehat seperti BNI pun perlu suntikan likuiditas. Tiga bank besar seperti Mandiri, BNI dan BRI mendapat suntikan likuiditas sebesar Rp 15 triliun. Masing-masing dapat berapa, saya tidak tahu," lanjut dia.
Sigit menerangkan, likuiditas itu seperti jantung kekurangan darah yang bisa menyebabkan stroke. Jadi, ketika ada kekurangan likuiditas, maka perbankan mengalami kolaps.
Sigit menambahkan, penyelamatan Bank Century itu adalah langkah yang tepat, di mana itu adalah juga untuk menyelamatkan uang nasabah dan menghindari kemungkinan efek domino memburuknya perekonomian nasional di tengah krisis finansial global.
"Yang sering kita lupa ini bukan menyelamatkan bank, tapi menyelamatkan dana nasabah," kata dia.
Perlu dicatat, lanjutnya, bailout untuk Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun bukanlah dana dari APBN, melainkan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), di mana dana tersebut merupakan premi dari bank-bank peserta LPS.
"Uang Rp 6,7 triliun tersebut tidak hilang, wujudnya bisa dilihat sekarang, yaitu Bank Mutiara," ujarnya.
Sigit mengungkapkan, jika ketika krisis para pemangku kebijakan dipermasalahkan, maka tidak ada pejabat yang mau mengambil kebijakan. "Mau jadi apa negara ini nanti, kecuali jika ada yang mengambil keuntungan pribadi atas kebijakan yang telah ditetapkan," tutupnya. (***)