TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Merefleksi kasus kekerasan umat beragama di Yogyakarta pada beberapa hari lalu dan juga peristiwa yang sama pada waktu lalu, mendorong pemahamanan baru bahwa di Indonesia lebih baik tidak beragama daripada beragama dengan risiko teraniaya.
Cepat atau lambat jika kasus penganiayaan atas agama tidak diselesaikan oleh pemerintah dan pihak aparat, pemahaman baru itu akan muncul di masyarakat Indonesia.
Hal ini sekaligus juga menegaskan bahwa Pancasila tidak ada gunanya diamalkan jika pemerintahpun bersifat permisif atas kekerasan yang terjadi atas nama agama.
Demikian diungkapkan KH Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantrean Al Mizan, Majalengka di Jakarta, Minggu (1/6/2014). Pernyataan Maman itu terkait dengan penyerangangan dengan tindak kekerasan kepada sekelompok umat Katolik oleh preman berjubah di daerah Mbesi, Jogyakarta dan perusakan Gereja Kristen Jawa di Yogyakarta.
“Yang saya lihat kasus kekerasan bernapaskan agama itu ada dua substansi. Yang pertama adalah ini ada kaitannya dengan politik dan yang kedua adalah terkait dengan pemerintah yang tidak tegas atas kekerasan yang mengatasnamakan agama di manapun berada. Negara sering tidak hadir dalam kasus-kasus kekerasan atan nama agama. Jika pemerintah tegas dalam bertindak dan mengatasi kekerasan dengan atas nama agama, persoalan seperti ini akan selesai. Tidak berlarut-larut. Tidak mewabah” ujar Caleg PKB yang lolos ke Senayan ini.
Maman Imanulhaq yang juga Majelis Nasional Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) menegaskan bahwa persoalan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia tidak pernah diselesaikan atau terselesaikan.
Aparat tidak pernah melaporkan penyelesaian kasus kekerasan atas nama agama kepada publik. Dan ini membuktikan, ditegaskannya, bahwa aparat selalu berpihak pada kelompok minoritas ini yang bertindak atas nama golongan mayoritas Islam.
Lebih lanjut ditegaskan, ini sangat kental dengan politik. Menurut analisanya, Jogya adalah pusat kehidupan politik Indonesia. Jika Jogyakarta bisa digoyang dengan isu seperti ini maka diharapkan gemanya akan mendorong gerakan radikal juga terjadi di tempat lain atau setidaknya muncul kekacauan di mana-mana.
Hal yang sama, menurutnya, ketika sekelompok orang merusak makam kerabat Jogyakarta, Ndoro Purbo di darah Semakin. Kasus tersebut belum ada penyelesaiannya seperti apa. Dan, kasus itu sangat jelas terkait dengan politik.
“Setiap anggota polisi harus tahu bahwa Polri itu dilahirkan di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, sekolah pemimpin umat Katolik. Itu adalah sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap anggotanya. Karena Polri itu lahir dari kelompok minoritas, oleh karena itu institusi dan anggotanya harus berdiri di atas seluruh golongan dan tidak hanya sekedar melakukan tugas rutin,” tegas Maman, yang pernah juga menjadi korban kekerasan dalam "Tragedi Monas" Jakarta beberapa tahun lalu.
Ketidaktahuan Polri akan sejarahnya, demikian Maman menuturkan lebih lanjut, akan mendorong penyelesaian tugasnya setengah-setengah. Beri bukti kepada masyarakat bahwa Polri bekerja dengan baik dan tuntas terkait dengan kasus-kasus penganiayaan atau kekerasan atas nama agama. Bukti itu juga perlu untuk menegaskan bahwa di Indonesia memang masih ada Pancasila.
“Bagi para intel polisi, sebenarnya gerakan yang semacam ini sangat mudah terdektesi. Namun selalu dalam setiap kasus, seperti halnya di film, polisi terlambat datang menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Sungguh, kita perlu bukti bahwa Polri memang menjunjung tinggi Pancasila juga dan tidak hanya sekadar slogan,” ujarnya