TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, memperkirakan, pemerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di bandara bisa mencapai Rp 352 miliar per tahun.
Nilai itu dihitung dengan mengasumsikan setiap TKI dimintai uang Rp 2,5 juta. Dalam satu tahun, ada sekitar 360.000 TKI.
"Bila hanya 50 persen TKI saja diperas maka jumlah hasil pemerasan itu ternyata sangat fantastis, yaitu kira-kira sebesar 130.000 kali Rp 2.500.000 sama dengan Rp 325 miliar per tahun," kata Bambang melalui pesan singkat, Sabtu (27/7/2014) pagi.
Dia mengatakan, pungutan liar Rp 2,5 juta yang ditarik dari para TKI itu meliputi biaya mengeluarkan TKI dari bandara, pemaksaan TKI untuk menukarkan uang dengan kurs yang tidak sesuai, penggelembungan biaya transportasi, dan biaya pengeluaran barang, serta biaya-biaya lainnya.
"Inilah putaran hasil pemerasan yang dinikmati oknum polisi angkatan dan penyelenggara negara lainya bersama para preman," ujar Bambang.
Sejak Jumat (26/7/2014) tengah malam hingga Sabtu dini hari, KPK dan Polri bekerjasama dengan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menggelar inspeksi mendadak (sidak) di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Sidak dilakukan terkait dengan pelayanan pemulangan TKI di Indonesia. Dalam sidak tersebut diamankan 18 orang untuk diperiksa lebih lanjut. Sebanyak dua dari 18 orang yang diamankan tersebut merupakan petugas Kepolisian.
Sementara satu orang lainnya adalah anggota TNI Angkatan Darat. Sisanya adalah calo dan preman yang biasa beroperasi di Bandara.
Tim juga mengamankan seorang warga negara asing (WNA) yang diduga sebagai korban pemerasan.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, sidak diharapkan dapat memperbaiki sistem pada pelayanan publik terkait TKI dapat membersihkan daerah terbatas bandara dari oknum aparat yang disinyalir melakukan praktik tercela kepada para TKI.
Penertiban area publik dari pihak-pihak yang diduga memeras dengan modus memberi tumpangan pada TKI serta adanya praktik gratifikasi terhadap pejabat atau pegawai negeri di lingkungan pelayanan TKI.
Sejak 2006, kata Johan, KPK telah menaruh perhatian khusus pada sistem penempatan TKI melalui kegiatan kajian dan pemantauan. Hasil kajian KPK telah disampaikan pada Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi dan BNP2TKI.
Setelah itu, KPK juga melakukan pemantauan pelaksanaan saran perbaikan tersebut dalam rangka memperbaiki sistem penempatan TKI pada 2008-2011.
Melalui kajian tersebut, KPK menemukan bahwa di Terminal III Soetta (Terminal khusus TKI hingga tahun 2007) memiliki kelemahan yang berpotensi tindak pidana korupsi.
Contohnya, kurs valas dari market rate di money changer yang rendah yang merugikan TKI, mahalnya tarif angkutan darat yang disediakan Kemenakertrans, tidak jelasnya waktu tunggu sejak membeli tiket sampai dengan berangkat, hingga banyaknya praktik pemerasan, penipuan dan berbagai perlakuan buruk lainnya.
Selain itu, KPK menemukan Indikasi keterlibatan aparat bersama-sama dengan oknum BNP2TKI, porter, cleaning service, dan petugas bandara dalam mengarahkan TKI kepada calo/preman untuk proses kepulangan.
Diduga, para TKI tersebut dipaksa untuk menggunakan jasa money changer dengan nilai yang lebih rendah.
Ditemukan pula pemerasan oleh calo dan preman kepada TKI dan penjemputnya misalnya melalui penukaran kurs asing ke dalam rupiah yang berpotensi merugikan hingga Rp 1 juta per TKI, biaya pelepasan kepada keluarga apabila TKI ingin melakukan kepulangan mandiri (dijemput oleh keluarga) hingga Rp1 juta.
Paksaan membayar ongkos tambahan hingga Rp 2 juta di tengah perjalanan serta ancaman bahwa TKI itu akan diturunkan di tengah jalan jika tidak membayarkan uang, serta adanya porter yang mengutip biaya Rp 50.000/kilogram barang yang diangkut.