TRIBUNNEWS, JAKARTA - Mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) RI Didik Heru Purnomo mengakui sulit menegakkan hukum di laut. Bila dibandingkan dengan The Malaysian Maritime Enforcement Agency atau Coast Guard Malasia, badan Indonesia tertinggal jauh.
Hingga saat ini, Bakorkamla mengordinasi 13 instansi pemerintah yang terlibat di laut, namun masih saja tetap terjadi tumpah tindih dalam menjalankan tugas. Masing-masing mengedepankan ego sektoral. Karena itu, dibutuhkan suatu badan yang menyatu, satu atap dan terintegrasi.
"Indonesia perlu meniru Malaysia. Di sana, pelaksanaan dan penegakan hukum di laut, sudah satu badan, sedangkan di Indonesia tidak. Mestinya harus ada samsat. Sehingga menindak hukum dilaut dapat cepat dan kuat," kata Didik saat berbincang dengan wartawan di kawasan Megakuningan, Jakarta Selatan, Jumat (15/8/2014).
Mantan Kepala Staf Umum TNI dan mantan Wakil Kepala Staf TNI AL itu berharap ada revelusi mental di kalangan birokrasi yang mengurusi laut. "Untuk mendukung revolusi di bidang kelautan, harus ada satu badan yang kuat, satu atap. Seperti coast guard. Malaysia sekarang kuat, karena coast guardnya diberi kekuasaan penegakan hukum di laut. Padahal dulu dia belajar dari kita."
Menurut penilaian Didik, pemerintah di laut berbeda dengan darat. Dari kompleksitas masalah saja sudah pasti berbeda. Perbatasan darat, Indonesia hanya terkait dengan tiga negara, yakni Papua Nugini, Timor Leste dan Malaysia. Sedangkan perbatasan laut mencakup 10 negara, yakni India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Dan dari segi jalak, laut Indonesia, Sabang ke Merauke, sama dengan benua Eropa, dari London-Inggris ke Turki.
Untuk tugas pengamanan, kalau di darat fungsi pelayanan dapat dipisah-pisahkan, sedangkan di laut tidak bisa. "Di Bakorkamla, ada 13 stakeholder instansi yang punya fungsi di laut. Dan semua punya bos masing-masing, tidak menyatu. Jadi saat itu saya tidak bisa apa-apa. Padahal idealnya, urusan di laut, fungsi pemerintah harus menyatu. Satu atap, samsat, Bakorkamla bukan lagi sebatas berkoordinasi," ujar Didik.
Insitansi terkait Bakorkamla adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung, Polri, Panglima TNI, Kepala BIN, serta Kepala Staf TNI AL.
Faktor lain yang membuat urusan laut pengamanan laut sulit adalah adanya tumpang tindih peraturan. Misalnya, Undang-undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Kepalabuhanan. Dengan demikian untuk urusan pantai saja, tidak karuan. Siapa yang berhak mengurusi, tidak jelas karena tumpang tindih undang-undang. Akhirnya masing-masing instansi ego.
"Jadi urusan kelautan perlu revolusi. Revelusi mental bukan hanya rakyat, tapi terutama birokrasi," kata Didik yang pernah menjabat Panglima Armada Kawasan Barat (Pangarmabar) TNI AL.
Didik menceritakan kejadian yang dialami selama memimpin Bakorkamla. Petugas sering menangkap pihak-pihak mengganggu keamanan laut. Misalnya illegal fishing, kepabeanan, atau penyelundupan minyak. Namun ketika penegakan hukum dilakukan, sering terbentur masalah.
"Misalnya ada ada dua. Satu penyidik, bertekad menyidik. Tapi satu katakanlah oknum, punya jaringan dengan yang ditangkap. Dia bisa menyelesaikan, dilapanenamkan. Lalu kapalnya dilepas. Ini mengapa? Karena Bakorkamla tidak punya kewenangan menegakkan hukum," kata Didik.
Dalam kasus ini, Bakorkamla sebagai komando pengendali operasi, tidak bisa berbuat apa-apa, karena personel dari instansi yang turut operasi itu masih melapor ke atasannya masing-masing. "Keputusan kan bukan di atas kapal oleh pemburu/patroli, tapi atasannya bisa berkata lain," katanya.
Praktiknya selama ini, jika Bakorkamla menangkap pihak terkait kasur di laut, selanjutnya akan diserahkan ke instansi yang berhak. Kalau penangkapan itu terkait tindakan nelayan menangkap ikan secara illegal, maka akan diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan perikanan. Kalau kapal yang berlayar tidak dilengkapi surat-saurat, akan diberi ke Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), seterusnya jika ada kasus kapal menabrak kapal lain, penanganannya akan dilimpahkan ke kepolisian.
"Itu dari sisi kemanan, sekarangn lebih penting juga memberi jaminan rasa aman, keselamatan dna kepastian hukum kepada pengguna laut, terutama kapal asing. Kita harus memberi kredibilitas yang baik. Kalau krebdibiltas baik pasti ongkos overhead kecil, dan asuransi kecil, dengan begitu, pengguna akan senang," kata Didik sembari menyebut langkah pemerintah Korea Selatan dan Malaysia merupakan contoh patut ditiru untuk urusan kemaritiman.
"Korsel bisa menjadi contoh kemaritiman yang bagus. Dia, punya kuda bagus dan kusirnya juga bagus. Sedangkan kita, kudanya bagus, kusirnya tidak bagus." (domu d ambarita)