TRIBUNNEWS.COM - Pilot Susi Air, Philip Mehrtens akhirnya bebas pada Sabtu (21/9/2024) kemarin setelah disandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) selama 19 bulan sejak Februari 2023 lalu.
Berbagai upaya pun telah dilakukan Pemerintah Indonesia lewat TNI-Polri untuk membebaskan pilot asal Selandia Baru tersebut, tapi berujung gagal.
Bahkan, OPM sempat mengancam akan membunuh Phillip pada Mei 2023 lalu jika tak ada negosiasi.
Lalu, apa penyebab sulitnya TNI-Polri dalam membebaskan Phillip Mehrtens hingga membutuhkan waktu 19 bulan lamanya?
Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengungkapkan begitu lamanya pembebasan Phillip Mehrtens dari penyanderaan OPM karena situasi Papua yang kompleks.
Dia mengungkapkan berbagai situasi terjadi di Papua seperti tekanan politik hingga keamanan yang sangat menantang.
"Operasi penyelamatan sandera, terutama dalam konteks ancaman dari kelompok bersenjata seperti di Papua selalu melibatkan banyak pertimbangan, termasuk keselamatan sandera, negosiasi, tekanan politik, serta kondisi geografis dan keamanan yang sangat menantang," ujarnya kepada Tribunnews.com, Minggu (22/9/2024).
Tak cuma itu, Khairul mengungkapkan medan di Papua yang sulit diakses juga menjadi faktor lain betapa lamanya Philip Mehrtens untuk dibebaskan.
"Hutan lebat, pegunungan terjal, serta infrastruktur terbatas, membuat operasi militer atau misi penyelamatan menjadi tantangan terbesar," ujarnya.
Baca juga: Pilot Susi Air Philip Marthens Dibebaskan dari KKB Pimpinan Egianus Kogoya Tanpa Biaya Tebusan
Khairul juga mengatakan sifat organisasi OPM yang tidak terorganisir juga menjadi penyebab pemerintah sulit untuk segera membebaskan Philip Mehrtens.
Selain itu, negosiasi yang alot dalam prosesnya karena kondisi psikologi sandera dan anggota OPM itu sendiri juga menjadikan operasi pembebasan ini menjadi semakin sulit.
Khairul pun meminta agar publik memahami bahwa seluruh pihak pasti menginginkan pembebasan terhadap pilot Susi Air itu berjalan dengan cepat dan tidak membutuhkan waktu lama.
Namun, sambungnya, pemikiran yang realistis tetap harus dikedepankan karena berbagai kendala di lapangan.
"Tentu saja wajar jika publik berharap proses pembebasan bisa dilakukan lebih cepat."