TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bergulirnya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang diklaim sejumlah pihak akan dimenangkan fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) terus menimbulkan kecaman.
Buntut dari masalah ini adalah banyak kepala daerah yang justru mengancam bahkan keluar dari parpol mereka karena dianggap sudah tidak sejalan dengan garis politik mereka dan partai.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Igor Dirgantara mengaku tak sependapat Kepala Daerah menilai RUU Pilkada itu justru dengan cara mereka keluar dari partai. Pasalnya, bila mereka cabut dari partai itu tidak akan menyelesaikan masalah.
"Menurut saya, enggak perlu mundur karena parpol masih jadi instrumen utama dalam sistem politik Indonesia sebagai sumber rekruitment dan kendaraan politik yang sah dan legitimate dalam menghantarkan seseorang untuk menduduki jabatan publik," kata Igor.
Dengan begitu, terang Igor, para Kepala Daerah yang terpilih melalui parpol tidak bisa mengenyampingkan peran partai politik dalam berdemokrasi. "Kita ambil contoh Bima Arya sebagai Wali Kota di Bogor tidak setuju dengan RUU Pilkada melalui pemilihan DPRD, tetapi dia tetap setia kepada PAN," ujarnya.
Selain itu ada juga Wagub DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau (Ahok) keluar dari Gerindra dan Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat (Kal-Bar) Awang Ishak yang juga mundur dari partai PAN.
Karena itu, menurut Igor bahwa mereka (Kepala Daerah) yang menyatakan mundur dari parpolnya karena tidak sepaham berpolitik denganya hanyalah bentuk ungkapan kekecewaan sementara. Diprediksinya jika hal ini sudah selesai maka mereka akan kembali lagi ke parpol itu atau bahkan loncat ke parpol lain.
"Ya, mungkin itu hanya bentuk kekecewaan aja. Bisa saja nanti mereka masuk parpol lagi atau meminta dukungan parpol lainnya," ujarnya.
Sementara pengamat politik Aidil Akbar menilai bahwa selayaknya Kepala daerah yang berasal dari parpol tidak memiliki satu misi yang sama, maka mereka harus segera mundur dari partai. Tetapi tidak hanya mundur dari partai, melainkan mundur dari jabatannya saat ini sebagai kepala daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika politik mereka yang menolak RUU Pilkada melalui pemilihan DPRD.
"Saya kira etikanya memang harus keluar jika sudah gak sejalan dengan kebijakan partai. Dan bahkan secara etika politik, tak hanya sekedar keluar dari parpol tapi juga mengundurkan diri dari jabatan sebagai kepala daerah. Kenapa? Karena kepala daerah itu diusung oleh parpol atau gabungan parpol yang artinya dia menjadi daerah juga karena sudah diusung parpol," kata Aidil.
Karena itu, bilamana mereka telah keluar dari partai dan jabatannya, maka masyarakat yang menilai apakah kepala daerah itu masih layak atau tidak memimpin dan juga menilai parpol yang telah berpendapat beda dengan pendapat publik.