TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang bermarkas di Singapura yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terus bergulir.
Pengamat ekonomi, Ichasanudin Noorsy, menuturkan isu pembubaran tersebut belum tentu bisa menyelesaikan persoalan masalah mafia migas. Noorsy berpendapat, pembubaran tersebut harus dilihat dari akar masalahnya dan memperkuat sistem yang ada.
"Akar masalahnya apa, ada masalah gak? tapi harus lihat juga orangnya dengan nama-nama yang muncul,"ujar Noorsy setelah diskusi bertajuk "Gilas Mafia Migas dan Tambang, Siapa Punggawa Pendamping Jokowi"? di FX Lifestyle X'nter, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (24/9/2014).
Menurut Noorsy, pola Petral akan tetap terbuka mafia migas jika tidak dilakukan dengan G to G dengan pola yang lebih luas. Adanya isu pembubaran Petral juga tidak musti diiringi dengan pembubaran Integrated Supply Chain (ISC) dalam pengadaan minyak.
Adanya usulan Petral yang diikuti dengan pembubaran ISC tidak akan mengatasi persoalan karena persoalan mendasar adalah dengan membangun sistim. Persoalan ISC menurutnya, juga harus dilihat dari berapa biaya logistik dan biaya distribusi yang harus dilakukan dengan G to G.
"Akan tetap terbuka mafia artinya anda harus G to G. Anda bermain pada nilai yang dilindungi bukan kontrak jangka pendek," ujar Noorsy.
Noorsy menambahkan, pembangunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru akan bisa mengatasi masalah. Pembangunan BUMN ini juga harus diperkuat dengan adanya orang-orang yang kompeten dalam menaggani persoalan ekspor dan impor migas.
Rekrutan orang-orang baru ini diharapkan akan mampu memutus mata rantai mafia migas tersebut. Kebijakan tersebut tergantung keluasan Jokowi-JK dalam menempatkan orang-orang terbaik dan harus dilakukan kajian berdasarkan undang-undang terhadap pemisahan tersebut.
Noorsy juga mengatakan, ia pernah mengusulkan untuk pembangunan kilang-kilang baru di Indonesia pada tahun tahun 2005-2006. Bahkan negara-negara luar telah menawarkan pembangunan kilang tersebut dengan jaminan pasokan minyak mentah sekaligus menjadi off taker.
Pembangunan kilang baru tersebut tidak harus dilakukan Pertamina. Pembangunan kilang-kilang baru tersebut lebin tepat dipegang oleh BUMN baru karena Pertamina dinilai sudah cukup untuk membahas persoalan-persoalan ekspor dan impor.
Noorsy yakin pembangunan kilang-kilang tersebut bisa rampung dalam tiga tahun jika ada kemauan yang kuat mengatasi masalah tersebut.
"Pemerintah tidak berani melakukan, itu artinya sesungguhnya konsep itu memotong mata rantai tadi," kata Noorsy.
Pemotongan mata rantai tersebut akan menentukan pengambilan kebijakan migas karena adanya keterbukaan. Baik keterbukaan biaya, harga kilang, pajak, dan harga retailnya.
"Dari data itu Amerika terbuka punya pengambilan kebijakan pada migas mereka punya biaya yang dikeluarkan dengan terbuka bagaimana terbukanya antara brand name dan unbrandname," kata Noorsy.