TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer, Susaningtyas NH Kertopati mengatakan HUT ke-69 TNI pada 5 Oktober nanti semoga dapat menjadi momen baik untuk refleksi dan mengintrospeksi diri, sekaligus sebagai pembangkit semangat prajurit TNI kita.
Tentu saja prajurit TNI meski tak boleh lagi berpolitik praktis harus juga dibekali pendidikan atau pengetahuan politik negara. Agar mereka pun paham apa dan bagaimana netralitas itu, terlebih kini kita rasakan adanya pergeseran ancaman terhadap negara, kini tak lagi sebatas ancaman perang tradisional.
"Adanya ancaman cyber war, perang asimetrik dan saat ini yang sedang 'hot' dibicarakan proxy war (dengan menggunakan pihak ketiga) tentu saja tak merupakan perebutan teritorial langsung tapi lebih kepada otoritas penguasaan kedaulatan melalui teknologi dan psy war, hal ini berdampak lebih luas bisa masuk ke relung-relung ipoleksosbud bangsa dan bila kita tak waspada maka bukan tak mungkin kita dapat dilumpuhkan dengan cara itu sebagai bangsa," kata wanita yang akrab disapa Nuning kepada Tribunnews.com, Sabtu (4/10/2014).
Nuning menuturkan, justru itu prajurit TNI juga harus pintar dn memiliki profesionalitas teruji. Alutsista yang kita miliki tentu harus konsisten dengan renstra dan kebijakan MEF, jangan nantinya saat ganti pimpinan ganti pula renstra yang pastinya berdampak pada budgeting dll.
"Ke depan ini pak Jokowi akan serius menangani masalah maritim tentu hal-hal yang penting untuk mendukung programnya perlu kita kedepankan dan laksanakan," tuturnya.
Terkait hal itu,rencana pembangunan Armada RI Kawasan Timur di Sorong sudah dilakukan sejak tahun 2012. Namun rencana itu baru menemukan titik terang, saat dibangunnya Divisi Marinir Ketiga di Sorong yang dimulai pada September tahun lalu. Perencanaan yang berangkat dari kebijakan Minimum Essensial Force (MEF) tahap I (2010-2014) itu merupakan pondasi dalam menegakan NKRI khususnya wilayah Indonesia timur.
Pembangunan wilayah pertahanan negara termasuk di dalam tahapan itu. Sehingga kebutuhan akan armada baru, sebagai bagian dari wilayah pertahanan negara di rasa penting dalam mengoptimalkan kebijakan MEF tersebut.
Pemilihan Sorong menjadi armada timur merupakan kebutuhan mendesak saat ini, mengingat letaknya yang strategis di ujung pulau Papua dan merupakan pintu masuk Papua. Armada ini diharapkan nantinya mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI di kawasan timur.
Menurutnya, selama ini, TNI AL hanya memiliki dua Komando Armada, yakni Komando Armada Barat (Koarmabar) di Jakarta dan Komando Armada Timur (Koarmatim) di Surabaya.
"Dengan adanya Sorong sebagai armada baru, maka Surabaya akan bergeser menjadi Komando Armada Tengah atau pusat," ucapnya.
Adapun faktor-faktor yang menjadi alasan kuat pembangunan armada ini dilakukan di Sorong yaitu adanya faktor historis, faktor internal, dan faktor eksternal. Secara sejarah kata Nuning, Sorong merupakan daerah penting di masa kesultanan Tidore. Pembentukan Kohanla (Komando Pertahanan Laut) yang tinggal menunggu persetujuan presiden saya rasa sangat penting," katanya.
Hal itu mengingat saat ini dari 17.499 pulau yang dimiliki Indonesia, terdapat 92 pulau terluar dan 12 pulau diantaranya merupakan pulau-pulau strategis yang tersebar di sepanjang perbatasan dengan negara tetangga, serta digunakan sebagai titik-titik batas terluar (base point) pengukuran batas wilayah NKRI dengan negara tetangga.
Terkait dengan fungsi pertahanan dan keamanan negara, kedudukan pulau terluar merupakan beranda nusantara yang harus terus dipantau dan diawasi. TNI harus meningkatkan disiplin prajurit tapi harus linier dengan kesejahteraannya tentu.
"Disahkannya HDM sebagai UU baru lalu semoga menjadi panduan bagi pelaksanaan disiplin ke depan yang komprehensif dan dipatuhi," tandasnya.