TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berakhir pada 20 Oktober mendatang, seiring dilantiknya presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Tak hanya SBY yang berkemas, sejumlah pembantunya yang selama ini membantu SBY dalam tugas-tugas kenegaraan pun mulai bersiap menuntaskan masa baktinya.
Salah satunya adalah Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Politik, Daniel Sparringa. Ia tengah sibuk berkemas untuk pindah dari rumah dinas di kawasan Slipi, Jakarta Barat, yang selama lima tahun ini dihuninya.
"Saya sedang selesaikan penyelesaian di kantor, berbenah dan berkemas, menyiapkan pindah dari rumah dinas selama ini di Slipi. Lumayan repot juga," kata Daniel saat dihubungi akhir pekan lalu.
Daniel mengaku sudah memiliki rumah baru. Namun, dia enggan mengungkap lokasi rumah barunya itu. Ia mengatakan, urusan berkemas dan pindah rumah bukanlah perkara mudah. Pria lulusan Sosiologi Universitas Airlangga ini bahkan sampai harus menyewa jasa pindah rumah.
Selama lima tahun menempati rumah dinas itu, rupanya Daniel punya kenangan tersendiri. Salah satunya adalah taman yang kerap ditatanya bersama sang istri, Dendawarti Sparringga.
"Ada sesuatu yang putus di antara rumah itu dengan keluarga kami. Padahal lima tahun ini, tinggal di sana, kami menanam pohon, tanam rumput. Sayang sekali sesuatu yang indah itu, tiba-tiba harus kami tinggalkan," kata pria kelahiran Sidoarjo, 25 Juni 1959.
Tak hanya meninggalkan taman kesayangannya, Daniel juga harus berjibaku menyusun kembali buku-bukunya yang selama menjadi staf khusus tak terurus.
"Berantakan sekali, jadi mohon maaf kalau dari tadi sibuk sekali membereskan semua ini. Semoga sebelum tanggal 20 Oktober sudah selesai semua," katanya.
Daniel adalah salah satu orang kepercayaan Presiden SBY di lingkar dalam Istana. Doktor di bidang Sosiologi itu ditempatkan khusus mengurus masalah komunikasi dan politik.
Tugasnya itu, diakui Daniel, bukanlah perkara mudah. Saat Presiden SBY tengah diserang media massa, Daniel lah yang harus maju membela presiden.
"Pengalaman saya terberat adalah ketika harus menelan atau melihat ketika membaca atau mendengar, atau ketika melihat media mengabarkan sesuatu yang sebetulnya tidak begitu keadaannya tentang Istana," ungkapnya.
"Jadi, ketika opini diplintir itu menyakitkan dan lebih menyakitkan karena sejak awal saya tahu tidak mudah memenangkan sesuatu ketika lawannya media massa," kata Daniel.
Dengan latar belakang sebagai akademisi, Daniel menyadari sangat sulit beradaptasi dengan kondisi itu. Oleh karena itu, ia menyarankan pada pemerintahan ke depan, agar media massa bisa lebih banyak membantu pemerintahan.