Kita secara sadar ataupun tidak sedang menerapkan standar ganda atas sebuah nilai yang bernama nasionalisme. Dan karena nasionalisme itu pula, tanpa sadar kita sebenarnya berada pada dua kubu yang berlawanan antara pengkhianat vs pahlawan bangsa yang berakibat pada ancaman penguasaan bangsa oleh sebuah kelompok serta pembodohan atas rakyat Indonesia.
Kalimat di atas merupakan penggalan dari orasi ilmiah R Priyono, mantan Kepala BPMigas di hadapan para wisudawan Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta, pada 30 November 2013 silam.
Orasi ilmiah R Priyono secara utuh dimasukkan dalam buku, Migas The Untold Story, sebuah buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang berisi serpihan cerita yang tercecer dari sebuah lembaga yang bernama BPMigas yang telah dibubarkan.
Buku ini disusun oleh penulisnya, AM Putut Prabantoro dari hasil wawancara, catatan kecil, dan juga diskusi dengan narasumber eksklusif dan sekaligus pelaku sejarah, R Priyono, saat ia bertugas sebagai penasihat ahli bidang komunikasi.
Buku ini secara jelas menyimpulkan, pembubaran lembaga itu kontroversial, penuh tendensi politis atas nama nasionalisme.
Pembahasaan dalam buku setebal 169 halaman ini diujarkan dalam bentuk pemaparan berbentuk fakta-fakta yang mencantumkan bukti sejarah baik dalam bentuk pemberitaan maupun catatan ilmiah.
Si penulis buku, AM Putut Prabantoro yang sejak 2007 menjadi konsultan komunikasi Badan Kordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla RI kini menjadi Bakamla) menyiratkan ancaman serius atas blunder berupa pembubaran BPMigas.
Ancaman serius itu ia aktualisasikan dalam perangkaian peristiwa secara runut, dalam bahasa intelektual yang butuh pemahaman atas konteks permigasan, sekalipun itu merupakan 'cemoohan' atas hal yang terjadi pascapembubaran BPMigas.
'Olok-olok intelektual' atas pembubaran BPMigas, sebagai sejarah kelam per-Migas-an Indonesia, dirangkai dalam sejumlah sub-judul nyentrik, seperti misalnya plesetan All for Fun and Fun for All, Oh Indonesia, atau From Madura With Love.
Rangkaian itu merujuk pada satu titik, ada kesalahpandangan -atau memang kesengajaan- untuk menargetkan pembubarkan BPMigas.
Siapa pihak-pihak menghunus pedang bagi BPMigas atas nama nasionalime itu? Buku ini secara berani memberi petunjuk dan menunjuk hidung pihak-pihak tersebut.
Seperti yang diutarakan R Priyono dalam orasi ilmiahnya itu, nasionalisme jadi pisau bermata dua yang justru membunuh lembaga yang memperjuangkan agar emas hitam, minyak dan gas, menjadi ladang kemakmuran tak cuma bagi segelintir kelompok di negeri ini.
Dijelaskan, BPMigas merupakan badan pelaksana yang terbentuk sebagai amanat dari UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebagai sebuah produk reformasi, UU tersebut menggantikan UU No 8 Tahun 1971 tentang Pertamina yang dinilai gagal mengemban pasal 33 UUD 1945 karena berbagai faktor semisal korupsi, ineffisiensi, dan terancamnya eksistensi negara dari tuntutan pihak lawan.
Pada sebuah penjelasan di buku ini diterangkan, UU yang jadi landasan BPMigas tersebut memang menghilangkan 'kesaktian' Pertamina yang sejak lama memagang kendali atas tiga kekuasaan sebagai regulator, pengendali/pengawas, dan sekaligus sebagai operator per-migas-an nasional.
R Priyono mengistilahkan kekuasaan itu dalam istilah sepakbola, Pertamina bertindak sebagai Wasit, Pemain, dan Pengatur Permainan.
Buku ini juga menanyakan urgensi pembubaran BPMigas, terlebih judicial review Undang-undang yang memayungi BP Migas itu pernah diajukan dan ditolak.
Dalam sebuah penjelasan di buku ini, pembubaran badan tersebut justru mengarah pada pelengseran pribadi R Priyono dan program kerjanya sehingga muncul istilah depriyonoisasi.
Bak pledoi, poin-poin di buku menjelaskan betapa masalah permigasan Indonesia sejatinya tidak bersumber dari adanya kelembagaan BPMigas yang berada pada wilayah pengelolaan hulu migas.
Istilah proasing yang diembuskan ke arah BPMigas, terbantahkan lewat sejumlah fakta dan penjelasan dalam buku tersebut. Dalam kontrol BPMigas, tak ada satupun pejabat BPMigas yang ditangkap karena kasus korupsi.
Atau pada contoh lain soal kasus Blok Mahakam misalnya. Dijelaskan, betapa Pertamina sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil hak pengelolaan yang dipegang Total Indonesie pada tahun 1997 silam sebelum kontrak perusahaan energi asal Prancis itu memperpanjang hingga 2017.
Dijelaskan pula bagaimana isu Migas dikuasai asing dan BPMigas lah yang harus bertanggung jawab. Dalam buku ini diterangkan yang sebenarnya terjadi.
Pembubaran BPMigas bukan solusi malah jadi sumber banyak sumber petaka, dalam buku ini hal itu dibahasakan sebagai terbukanya kotak pandora atau bahkan drum pandora.
Rentetan kejadian seperti turunnya derajat lembaga pengganti BPMigas, yaitu SKK Migas menjadi di bawah kementerian ESDM hingga pengangkapan Rudi Rubiandini atau bahkan Akil Mochtar jadi rangkaian episode pada yang disebut dalam buku ini sebagai Tsunami Migas.
Dari sisi spiritual, buku ini menyebut Kementerian ESDM melanggar nilai luhur agama, adat Jawa dan Sunda pada 1 Muharam / 1 Suro yang merupakan awal Tahun Baru Islam.
Dalam buku tersebut, hal ini dikatakan KH Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka dengan menunjuk pada tanggal 15 November 2012, yang bertepatan dengan datangnya Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1434 H atau 1 Suro.
Pada 15 November 2012 atau dua hari setelah BP Migas dibubarkan, yang merupakan hari libur keagamaan, atas nama Menteri ESDM, Jero Wacik, Rudi Rubiandini meminta karyawan eks-BPMigas masuk kerja untuk diberikan penjelasan terkait pembubaran BP Migas. Apa yang salah dari pemilihan hari pengumuman pembubaran? Penjelasan komprehensif ada di buku tersebut.
Konsepsi Indonesian Incorporated
Apa buku ini semata soal 'olok-olok' atas risiko yang harus diterima bangsa atas pembubaran BPMigas? Ternyata tidak, pada bab lain disebutkan sejumlah jalan keluar dari karut marut per-migas-an Indonesia, semisal soal bagaimana solusi atas tingginya pengeluaran negara atas BBM bersubsidi hingga pemecahanan masalah atas penerapan standar ganda target lifting minyak mentah Indonesia.
Buku ini juga menawarkan konsep ide program yang ditajukkan sebagai Indonesian Incorporated, sebuah bagan yang menempatkan daerah penghasil dan daerah nonpenghasil minyak sebagai satu kesatuan per-migas-an demi Indonesia satu tak terbagi.
Atas konsep itu, ancaman disintegrasi wilayah di Indonesia karena berebut migas -sebuah gejala yang mulai sering terlihat- menjadi gugur dalam pemerataan. Sebuah konsep yang baru saja hendak dijalankan BPMigas namun keburu dibubarkan.