TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) melansir ada seorang dari 64 terpidana mati kasus narkotika yang sudah divonis mati di peradilan tingkat pertama sejak 1993. Namun, dia belum dilakukan eksekusi mati sampai sekarang.
"Kami punya data di sini, dari 64 terpidana mati yang menyangkut kasus narkotika dan psikotropika itu yang paling tua putusan tahun 1993," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum, Tony T Spontana di kantornya, Jakarta, Rabu (10/12/2014).
Tony enggan menyebut siapa terpidana yang dimaksudkannya. Yang jelas, dia merupakan bagian dari 20 terpidana yang tengah menunggu keputusan pengajuan grasi dari total 64 terpidana mati.
"Sejak 1993 ini, dia menempuh perjalanan di pengadilan negeri, kemudian mengajukan banding, mengajukan kasasi, menentukan sikap untuk mengajukan PK. Apalagi sekarang diberi kesempatan utk ajukan PK lebih dari satu kali, memang memakan waktu yang lama," kata Tony.
Saat memberi kuliah umum di UGM Yogyakarta, Selasa (9/12/2014) kemarin, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan sikap dan komitmennya memerangi narkoba.
Ia selaku presiden menegaskan dirinya akan menolak permohonan grasi dari 64 terpidana kasus narkotika.
Bagi Jokowi, penolakan grasi itu dilakukan karena dampak aksi para pelaku, terutama bandar narkoba, menguntungkan pribadi atau kelompok, namun merusak generasi penerus bangsa. Penolakan grasi juga penting untuk memberikan shock therapy bagi para bandar, pengedar maupun pengguna narkotika.