TRIBUNNEWS.COM - Kepedulian pada kebutuhan perkembangan anak menjadi prinsip Nina Estanto (42) dalam mengelola lembaga pendidikan yang ia dirikan pada awal tahun 2002. Dan, keprihatinannya pada nilai toleransi di negeri ini membuatnya mendirikan sekolah untuk anak usia dini dan sekolah dasar agar bisa menanamkan nilai toleransi sejak dini.
”Toleransi itu bukan barang sekali jadi, tidak bisa instan, dan amat sulit ditumbuhkan ketika orang sudah dewasa. Nilai toleransi itu akan lebih kuat internalisasinya ketika diberikan sejak anak masih di taman kanak-kanak,” ujar Nina, di Jakarta, Senin (5/1), ketika ditemui di salah satu dari tiga sekolah prasekolah dan satu sekolah dasar Putik Jakarta yang ia didirikan.
Ketika ia mendirikan sekolah, Jakarta saat itu sedang ”dihujani” dogma-dogma pendidikan ala Singapura untuk anak balita. Slogannya mempersiapkan anak siap bertarung dalam era globalisasi, anak balita Anda harus pintar berbahasa Inggris, anak balita harus bisa membaca sedini mungkin, dan anak balita harus menguasai komputer seawal mungkin.
”Ketika itu saya merasa, kok, ada yang kurang pas. Saya merasa kasihan sekali, ya, anak balita pada zaman itu. Belum lagi bisa lancar bicara, belum menguasai bahasa ibu, sudah harus berpikir persaingan di era globalisasi,” ujar Nina yang ketika itu juga sedang mencari sekolah untuk anaknya.
Padahal, sejatinya, menurut Nina, anak balita haruslah menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain. Dalam bermain itu, anak belajar banyak nilai tentang kehidupan.
”Nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya, itulah yang paling penting untuk dipelajari oleh seorang anak. Nilai bagaimana dia bisa mengekspresikan perasaannya dengan bicara yang sopan, nilai untuk berempati dan berbagi dengan sesama, nilai untuk struggle saat menghadapi masalah dengan teman, nilai untuk mandiri, serta nilai akan cintanya kepada orangtua, keluarga, tanah airnya, dan budayanya. Termasuk juga nilai toleransi,” ujar Nina yang amat suka berburu kuliner tradisional ini.
Idealisme seperti inilah yang terus diperjuangkan Putik sejak awal. Idealisme untuk terus membuat anak-anak berbahagia menikmati masa kanak-kanaknya, dekat dengan ayah bundanya, lancar mengekspresikan perasaannya tanpa hambatan bahasa, dan bangga sebagai anak Indonesia.
Nama Putik dipakai untuk nama lembaga pendidikan yang ia dirikan karena Nina berkeinginan ikut merawat generasi muda
”Putik itu ibarat bakal buah, bakal bunga, yang perlu dirawat dengan baik agar pertumbuhannya baik,” ujar Nina.
Suatu ketika, Nina bercerita, ada anak yang berulang tahun dan meminta teman-temannya untuk mengenakan baju dengan tema Minion. Salah satu temannya bilang ia tidak suka dengan Minion sehingga tidak mau menggunakan baju yang bertema Minion. Keduanya lalu dipertemukan untuk mencari jalan keluar dengan didampingi guru. Akhirnya, sang anak yang berulang tahun menawarkan agar temannya mengenakan baju atau kaus yang bernuansa kuning, dan ini bisa disepakati oleh temannya.
”Nah, ketika seorang anak punya pendapat, dan pendapatnya itu tidak disepakati temannya, ia belajar untuk menerima sekaligus menghargai perbedaan pendapat. Meski tidak sepakat, ia belajar untuk tidak menghina temannya yang berbeda pendapat,” ujar Nina yang beberapa kali menegaskan bahwa toleransi menghargai perbedaan pendapat semacam ini memang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dijalankan.
Hidup toleran
Toleransi dan bersikap sopan itu tidak hanya untuk menghormati orang yang berbeda agama, tetapi juga terhadap orang yang status sosial ekonomi berbeda, orang yang punya pendapat berbeda, ataupun kelompok yang berbeda.
”Kita bisa mempunyai pendapat dan mengungkapkan pendapat itu tanpa takut, tetapi disampaikan dengan tidak menghina pilihan ataupun kesukaan orang lain,” ujar Nina yang berharap seluruh anak negeri ini mampu memahami esensi toleransi dalam praktik, tidak sekadar dalam kata-kata.