TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum PAN Dradjad Wibowo menilai sistem voting cenderung memecah belah partai politik. Bahkan sebagian lainnya menjadi partai sempalan.
"Hampir 100 persen membuat pecah. Semua partai sempalan juga gagal kecuali Golkar," Kara Dradjad dalam diskusi 'Trend Aklamasi dan Regenerasi' di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/1/2015).
Dradjad mencontohkan PDIP sempat pecah melahirkan Partai Pelopor, PNBK dan PNI. Partai sempalan itu tidak lolos ke parlemen.
PPP juga mengalami perpecahan sampai melahirkan PBR. Sedangkan PKB melahirkan PKNU. Sementara PAN melahirkan PMB. "Sempalan hilang semua," ujar Dradjad.
Namun, hal itu tidak terjadi dengan partai pecahan Golkar. Tercatat, Gerindra, Hanura dan NasDem lolos ke parlemen.
Dradjad pun menjelaskan alasannya. Dimana partai lain mengandalkan satu figur sedangkan di Golkar memiliki banyak tokoh dengan kekuatan merata.
"Bila suara Golkar, Gerindra, NasDem dan Hanura digabung besar sekali. Pimpinan parpol lalu menghitung, bila dipaksakan voting apakah tidak terbelah? Itu yang membuat partai mengarah kepada aklamasi," ujarnya.
Akhirnya Golkar pun mengarah kepada aklamasi. Begitu pula dengan PDIP dan PKB. Hanura, NasDem dan Gerindra juga melakukan aklamasi. PPP yang mencoba voting malah mengalami perpecahan.
"Partai yang aklamasi selamat dari perpecahan. Demokrat tidak aklamasi di Bandung. Akhirnya pecah dan terjun bebas. PKB sempat pecah akhirnya turun drastis karena perpecahan Cak Imin dan Gus Dur. Hampir separuh suaranya hilang," tuturnya.
Hasil dramatis, kata Dradjad, terjadi pada Kongres Demokrat di Bandung tahun 2010. Saat itu Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum Demokrat.
"Bagaimana seorang bukan pendiri partai, orang baru mengalahkan tokoh sentral partai. Dari demokratis bagus tapi perpecahan berlarut-larut dan muncul luka. Dngan pengalaman itu, akhirnya kita harus ngitung, apakah memang harus voting atau diusahakan persatuan atau aklamasi, " katanya.