TRIBUNNEWS.COM - Kalangan profesional bisa menjadi pejabat eselon I lembaga pemerintah sebelum aturan turunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara terbit.
Namun, pimpinan instansi pemerintah wajib mendapatkan persetujuan presiden sebelum merekrut profesional melalui proses seleksi terbuka yang akuntabel.
Sesuai dengan Pasal 109 UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), profesional nonpegawai negeri sipil bisa mengisi jabatan pimpinan tinggi utama dan madya dengan persetujuan presiden.
Jabatan pimpinan utama meliputi kepala lembaga pemerintah non-kementerian, seperti Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jabatan pimpinan tinggi madya adalah eselon I, seperti sekretaris jenderal, direktur jenderal, dan kepala badan di kementerian serta sekretaris daerah provinsi.
”Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya oleh non-PNS sudah amanat Undang-Undang ASN. Jadi, sudah bisa dilakukan tanpa harus menunggu peraturan pemerintah dari undang-undang itu,” ujar Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Setiawan Wangsaatmaja di Jakarta, Rabu (28/1).
Aturan turunan
Kemenpan RB sedang menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang manajemen PNS yang akan menjelaskan lebih rinci mengenai pengisian jabatan dari non-PNS. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi menargetkan enam RPP turunan UU ASN tuntas pada Februari 2015.
”Nanti terkait status, gaji, fasilitas yang diterima, dan hal-hal lain yang diterima oleh non-PNS itu bisa diatur sekaligus di keputusan presiden yang mengangkatnya. Keputusan presiden itu bisa mengganti RPP yang belum tuntas,” kata Setiawan.
Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya bisa diisi profesional non-PNS apabila tidak ada PNS yang memenuhi syarat dan kualifikasi sesuai kebutuhan
serta mendapat persetujuan presiden. Begitu kedua syarat terpenuhi, pimpinan lembaga mengadakan proses seleksi terbuka yang bisa diikuti profesional non-PNS dan PNS dari luar instansi tersebut.
Sudah menjalankan
Setiawan mengatakan, saat ini instansi yang sudah menjalankannya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian ESDM membuka kesempatan bagi profesional non-PNS mengikuti seleksi terbuka dua posisi direktur jenderal.
”Kami sudah sosialisasikan juga ke semua instansi pemerintah bahwa mereka sudah bisa mengisi posisi jabatan pimpinan tinggi utama dan madya dari kalangan non-PNS tanpa harus menunggu RPP keluar,” kata Setiawan.
Pemerintah berharap kehadiran profesional bisa mencangkokkan budaya kerja swasta yang berorientasi target dan hasil sebagai indikator keberhasilan ke dalam birokrasi. Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet pernah menyatakan keinginannya agar 30 persen jabatan eselon I diisi profesional non-PNS.
”Masuknya orang-orang non-PNS ke birokrasi diharapkan bisa membawa perubahan sekaligus pencerahan,” kata Irham.
Memahami birokrasi
Namun, profesional non-PNS juga harus memahami betul kondisi internal birokrasi untuk meredam potensi resistensi di lembaga tersebut. Mereka juga harus mampu tegas untuk membangun visi, misi, dan memotivasi jajaran birokrat untuk mengadopsi perubahan.
Pengajar manajemen dan kebijakan publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, mengatakan, peluang profesional non-PNS menduduki posisi jabatan pimpinan tinggi memang membawa harapan perubahan pada jalannya pemerintahan. Namun, upaya untuk menciptakan perubahan itu tidaklah mudah.
Gabriel mengatakan, pejabat perlu mengembangkan sistem penghargaan dan insentif bagi PNS yang berkinerja baik dan adaptif terhadap perubahan gaya kerja. Adapun jajaran birokrat yang berkinerja lemah dan resisten terhadap perubahan akan mendapat sanksi.
”Penyakit birokrat itu sulit berubah. Mereka cenderung resisten terhadap perubahan dan orang luar yang masuk ke dalam birokrasi. Tantangan ini pasti akan dihadapi oleh jajaran birokrat non-PNS yang masuk ke birokrasi,” kata Gabriel. (APA)