News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Opini

PDI Perjuangan dan Joko Widodo

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden terpilih, Joko Widodo (dua kiri) berbincang dengan Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri (dua kanan) dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Puan Maharani (kiri) serta Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP di Marina Convention Center (MCC), Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (19/9/2014). Pada Rakernas Keempat PDIP yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-JK serta sejumlah ketua partai koalisi ini mengusung tema Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat. (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan)

Oleh: Abdillah Toha

TRIBUNNEWS.COM - Sulit dibantah bahwa perkembangan politik akhir-akhir ini berdampak pada bermasalahnya hubungan Presiden dengan partai pengusungnya, PDI-P, berikut ketua umumnya.

Beberapa pihak menyarankan agar Jokowi mengatasi masalah ini dengan segera melakukan komunikasi melalui pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri. Meski Jokowi sudah mulai memperbaiki hubungan dengan Koalisi Merah Putih, dukungan PDI-P dengan kursi terbanyak di DPR masih diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan program pemerintah. Hanya saja ada kasus sepele, tetapi simbolis dan menimbulkan beragam interpretasi yang mengganjal hati orang banyak. Setelah Jokowi berjumpa Ketua Umum PDI-P di Teuku Umar pada HUT PDI-P, tersebar luas gambar kepala negara kita menunduk dan mencium tangan Megawati di depan publik.

Sebuah simbol kenegaraan tertinggi menundukkan kepala di bawah seorang ketua partai. Dari sisi protokol kenegaraan, ini salah dan tak semestinya dipamerkan di depan umum. Juga tak pada tempatnya seorang presiden sering mondar-mandir ke rumah seorang ketua partai. Seharusnya, seperti yang dilakukan mantan Presiden Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono, jika perlu bertemu, Megawati yang seyogianya mendatangi Istana. Bukan sebaliknya. Terlalu sering ke Teuku Umar bisa membuat orang bertanya, di mana lokasi pusat pemerintahan? Merdeka Utara? Teuku Umar?

Siapa yang harus disalahkan? Jelas kesalahan utama ada pada sang presiden yang lupa beliau sekarang sudah bukan bawahan Megawati, melainkan pejabat kenegaraan tertinggi di negeri ini. Namun, kesalahan juga ada pada Ketua Umum PDI-P yang membiarkan, bahkan mungkin menikmati, kealpaan bekas anak buahnya itu yang kini jadi kepala negara. Kekeliruan itu tak hanya merugikan citra dan harkat sang presiden yang memberi kesan seakan-akan ada kekuasaan di atas presiden, tetapi juga tidak menguntungkan persepsi orang atas PDI-P dan ketua umumnya yang dianggap mendominasi presiden pilihan langsung rakyat.

Dudukkan diri, tahu diri

Kata orang bijak, arif itu adalah ketika kita mampu menempatkan segala sesuatu di tempat yang benar. Sanggup dan bersedia mendudukkan diri kita di posisi yang pas. Manuver PDI-P belakangan ini mengesankan kehendak partai menekan Presiden dalam kasus pengangkatan Kapolri bisa jadi karena ketakmampuannya menempatkan diri di tempat seharusnya. Bisa jadi karena bersumber dari rasa kepemilikan dan percaya diri PDI-P yang berlebih, bahwa presiden saat ini bagian dari dan seorang petugas partai. Karena itu, apa pun kebijakan dan keputusan presiden harus sejalan dengan garis partai atau beleid ketua umum.

Posisi ini menimbulkan kerugian ganda kepada PDI-P. Pertama, keretakan di tubuh partai jika kemudian sebagian fungsionaris partai berpihak kepada presiden dan lainnya kepada ketua umum. Ini sudah muncul di permukaan ketika ada pernyataan fungsionaris partai yang menuduh adanya "pengkhianatan" di tubuh partai. Kedua, citra partai di mata publik sebagai partai yang dianggap sok berkuasa dengan ketua umumnya di pucuk komando. Publik bertanya-tanya, ada apa di balik nafsu besar mengegolkan pengangkatan tersangka korupsi sebagai Kapolri?

Jika pemimpin PDI-P tak segera sadar dan mengubah haluan serta gaya relasinya dengan presiden, publik akan bepersepsi negatif dan itu bisa berpengaruh terhadap dukungan publik kepada PDI-P pada peristiwa politik selanjutnya. Terhadap presiden, walau sebagian pihak menuduhnya lemah dan tak berani melawan tekanan partai, pihak lain bersimpati karena menganggap Jokowi korban kekuatan politik yang jadi andalannya.

Jokowi memang membuat kesalahan pada awal pemerintahannya. Menyalahi janji kampanye, dia membentuk kabinet gemuk dan kurang berbobot dari sisi profesionalisme karena memberi terlalu banyak konsesi kepada partai pengusungnya. Namun, partai pengusung itu juga bertanggung jawab ikut menjerumuskannya sehingga janji presiden terpilih tak terpenuhi. Tampaknya, kebaikan hati Jokowi ini dibaca pihak tertentu yang merasa berjasa menjadikan Jokowi presiden RI peluang mengatur sang presiden selanjutnya.

Pola pikir partai-partai kita masih parlementer, bukan presidensial. Presiden dianggap fungsionaris partai yang ditugaskan sebagai kepala pemerintahan. Pola berpikirnya masih terkecoh seakan-akan presiden terpilih karena partai pengusungnya. Padahal, sejak presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, berkali-kali telah terbukti rakyat memilih calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota karena figur calonnya, bukan partai pengusung.

Pola pikirnya masih pada calon diuntungkan oleh partai pengusung, bukan partai yang diuntungkan oleh calon dengan elektabilitas tinggi. Selama parpol di negeri ini masih terkungkung pola pikir sempit itu, selama masih beranggapan bahwa partailah yang paling berjasa dalam menentukan kemenangan presiden atau kepala daerah, selama para petingginya gagal mengukur diri dan lingkungannya secara obyektif, selama itulah partai akan gagal jadi penopang dan hanya jadi pengganggu eksekutif yang diusung ketika menang pemilu.

Karena masih ada waktu sebelum persaingan dimulai pada pemilu serentak kepala daerah menjelang akhir 2015, PDI-P sebaiknya mengubah pola pikir dan perilaku politiknya dengan memberi dukungan proporsional kepada presiden yang diusungnya dengan gemilang sehingga programnya yang banyak diharapkan masyarakat mencapai hasil optimal. Hanya dengan demikian persepsi masyarakat akan kembali seperti awal pencalonan Jokowi, ketika banyak pihak mengelu-elukan sikap kenegarawanan ketua umumnya yang arif dan berpandangan jauh ke depan.

Abdillah Toha
Pemerhati Politik

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini