TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon meminta Indonesia menghentikan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba, terutama kelompok 'Bali Nine' asal Australia.
Menanggapi hal itu, politikus Gerindra, Martin Hutabarat, mengatakan pemerintah tidak perlu merespons berlebihan soal pernyataan PBB yang memprotes eksekusi hukuman mati di Indonesia.
"Cukup kita jawab bahwa eksekusi itu bagian dari sistim penegakan hukum yang berlaku di negara kita. Hukuman mati yang dilakukan terhadap gembong-gembong narkoba itu adalah putusan pengadilan yang sah, yang negara kita wajib mematuhinya," tandas Martin kepada Tribunnews.com, Minggu (15/2/2015).
Lagi pula, sambung Martin, yang dieksekusi itu adalah orang-orang yang betul-betul terbukti sebagai gembong atau bandar narkoba. Sebab, akibat perbuatan mereka dan sindikatnya, jutaan anak-anak muda Indonesia menjadi korban, meninggal atau kehilangan masa depan.
"Kalau ada dari daftar orang yang sudah diputus hukuman mati itu ada orang yang bukan gembong atau bandar narkoba, atau orang yang hanya ikut-ikutan saja tapi diputus hukuman mati, barulah kita pertimbangkan untuk menganulirnya melalui hak amnesti yang dimiliki Presiden sebagai Kepala Negara," terang Martin.
Namun, tegas dia, kalau tidak, Indonesia tidak perlu mempertimbangkan peninjauannya. Sebab hukuman mati berguna untuk memberikan keadilan sekaligus efek jera.
"Kita harus tegas menjawab ke PBB bahwa hukuman mati itu bagian dari sistem hukum kita. Meski pun kita tahu bahwa mayoritas negara di dunia sudah menghapus hukuman mati itu dari aturan hukumnya karena dianggap bertentangan dengan HAM dan keyakinan bahwa yang berhak mencabut nyawa seseorang adalah penciptaNya," tegasnya.
"Namun selama negara kita masih melegalkan hukuman mati itu, kita tidak boleh ragu untuk melaksanakannya," pungkasnya.