Tribunnews.com, Jakarta - Keputusan Plt Ketua KPK Taufiequrahman Ruki dkk melimpahkan penanganan penyidikan kasus dugaan korupsi Komjen Pol BG kepada Kejaksaan Agung atau ke Bareskrim Mabes Polri, bertentangan dengan amar putusan Praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi. Justru tuntutan Komjen Pol. BG. agar Berkas Perkara Hasil Penyidikan KPK tentang dugaan korupsi LHP Analisa Transaksi Keuangan Perwiran Polri diserahkan kepada Polri ditolak oleh Hakim Sarpin Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Demikian dikatakan oleh Petrus Selestinus SH, dalam diskusi membedah putusan Praperadilan Hakim Sarpin untuk BG, yang diselenggarakan oleh FAKSI dan TPDI dipandu oleh Advokat yang juga Sekjen FAKSI Daniel Tonapa Masiku, SH, Minggu (8/3/2015) di Jakarta. Hadir sebagai nara sumber dalam acara itu: Chairul Imam, SH. ( mantan Direktur Penyidikan Pidusus Kejagung, Drs. Alfons Loemau, SH. Mbsi. (mantan Penyidik, Perwira Menengah POLRI sebagai Pengamat Kepolisian), Hermawi Taslim, SH, (Koordinator FAKSI yang juga advokat senior) dan Petrus Selestinus, SH, (Koordinator TPDI dan Advokat Senior).
Diskusi membedah putusan Hakim Sarpin mencari benang merah tentang apakah Hakim Sarpin dalam Praperadilan berwenang memperluas kewenangan Praperadilan untuk mengisi kekosongan pasal 77 KUHAP, apakah betul terdapat kekosongan hukum dalam pasal 77 KUHAP terkait pelaksanaan tugas KPK, apakah betul Komjen Pol. BG, bukan subyek pelaku tindak pidana korupsi ketika menduduki jabatan dalam POLRI tahun 2003-2008, apakah betul Sprindik KPK yang menetapkan Komjen Pol. BG, menyalahi prosedure KUHAP dll.
Chairul Imam, SH, secara tegas menyatakan tidak sependapat dengan penilaian Hakim SARPIN tentang penetapan status tersangka sesorang boleh diuji melalui Praperadilan dengan cara Hakimnya memperluas kewenangannya sendiri melalui tafsir terhadap KUHAP. Alasannya karena selain dalam doktrin, ajaran ilmu hukum dan praktek peradilan, tafsir untuk penemuan hukum hanya berlaku dalam hukum pidana materil seperti KUHP dan UU Pidana lainnya, sementara terhadap Hukum Acara/ KUHAP tidak boleh dilakukan tafsir. Sikap Hakim SARPIN yang memperluas kewenangannya melalui tafsir bebas hingga penetapan tersangka seseorang dapat diuji dan dinyatakan batal oleh Hakim Praperadilan sangat membahayakan dunia peradilan, khususnya kerja Polisi dan Pengadilan. Para begal sepeda motor dan maling ayam akan berbondong-bondong ke Pengadilan mempraperadilankan Polisi ketika ditetapkan sebagai tersangka.
Drs. Alfons Loemau, SH. Mbsi. Purn. Pamen Polri, mantan Penyidik dan Pengamat Kepolisian menyatakan prihatin dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia. "Karena selama ini kriminalisasi dalam proses peradilan pidana seolah-olah tidak mendapatkan tempat dalam mencari keadilan. Seseorang begitu mudah ditetapkan sebagai tersangka hanya untuk tujuan lain di luar tujuan penegakan hukum, misalnya untuk menjegal seseorang menjadi caleg, calon Bupati, calon Gubernur dll, tanpa ada sarana hukum yang tepat dan cepat untuk melindungi mereka yang terkriminalisasikan itu," katanya.
Karena itu Pamen Polisi Purn yang saat ini berprofesi sebagai Advokat dan Pengamat Kepolisian itu mendukung upaya hukum Koleganya Komjen Pol. BG, mencari keadilan melalui Praperadilan, karena penetapan tersangka oleh KPK atas diri BG telah berakibat menghambat karir profesi bahkan karier politik BG hancur, tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Pemerintah, DPR dan Lembaga Yudicatif lainnya sudah saatnya memikirkan jalan keluar sebagai terobosan untuk memulihkan hak bagi mereka yang teraniaya dalam proses hukum atau terkriminalisasikan dalam proses hukum seperti yang dialami BG.
Hermawi Taslim, SH. Koordinator FAKSI (Forum Advokat Pengawal Konstitusi), menegaskan bahwa kita semua berkewajiban untuk membenahi karut marutnya proses penegakan hukum terkait dengan konflik KPK vs. Polri.
"Kasus upaya hukum BG melalui Praperadilan harus dilihat sebagai bagian dari dinamika perkembangan hukum kita yang sudah ketinggalan dan sudah tidak mampu menjawab kebutuhan akan keadilan dan kepastian hukum. Karena itu Polri, KPK, Advokat dan seluruh masyarakat harus bisa mengambil hikmah dari perjalanan upaya hukum yang ditempuh oleh BG. Pasti ada yang sakit dan ada yang bergembira melihat fenomena ttg krimimalisasi dan politisasi dalam penegakan hukum baik yang dialami BG maupun yang dialami oleh BW dan AS dkk," katanya.
Sementara itu, Petrus Selestinus, SH. Koordinator TPDI yang juga Advokat senior asal NTT, melihat upaya hukum BG dalam mengajukan Praperadilan terhadap KPK sebagai langkah tepat, karena di sanalah diharapkan akan diperoleh keadilan dan kepastian hukum. "Pertanyaannya apakah melalui Praperadilan ini BG sudah mendapatkan keadilan? Tentu saja belum, oleh karena putusan Hakim Sarpin dalam Praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. BG, telah menabrak berbagai larangan, melampaui kewenangan Pengadilan Tipikor dan Ketua Mahkamah Agung dan sangat manipulatif dalam pertimbangan hukum putusannya," katanya.
Larangan yang dilanggar Hakim Sarpin, kata Petrus, adalah memperluas wewenang Praperadilan atas alasan terjadi kekosongan hukum dalam pasal 77 KUHAP dan larangan menolak untuk mengadili sebuah perkara atas alasan hukum tidak lengkap dengan membuat kaidah baru melalui metode penemuan hukum dalam putusan Praperadilan, jelas Hakim Sarpin telah memgambilalih wewenang Ketua Mahkamah Agung RI, karena pasal 79 UU Mahkamah Agung, menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan perilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU ini. Artinya kewenangan untuk menciptakan hukum baru terkait dengan kekosongan hukum dalam memperlancar jalannya peradilan, maka hanya Mahkamah Agung yang berwenang membuat Paraturan Mahkamah Agung. Jadi bukan kewenangan Hakim Sarpin.
Juga dipertanyakan apakah benar terjadi kekosongan hukum dalam menjawab Praperadilan Komjel. Pol. BG. menurut Petrus jelas tidak ada keksongan hukum, karena Hukum Acara Pidana yang mengatur kerja KPK tidak hanya KUHAP melainkan juga diatur di dalam UU Pemberantasan TIPIKOR dan UU KPK. Pasal 63 UU KPK menyatakan bahwa: (1) : dalam hal sesorang dirugikan akibat penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh KPK secara bertentangan dengan UU ini atau dengan hukum yang berlaku, orang ybs. berhak mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(3) : gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 54.
Atas dsar pasal 63 ini maka tidak benar alasan Hakim SARPIN dalam putusannya menyatakan telah terjadi kekosongan hukum, dan dengan demikian kewenangan untuk mengadilipun bukan melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi harus melalui gugatan rehabilitasi dan konpensasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat dimana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada.
Kemudian soal pendapat Hakim Sarpin bahwa BG bukan sebagai Pneyelengara Negara dan bukan sebagai Penegak Hukum, dengan merujuk pasal 11 huruf a, nampak ketidakjujuran Hakim Sarpin dalam mengategorikan BG sebagai bukan subyek hukum dalam tindak pidana korupsi. "Karena kalau saja BG bukan Penyelenggara Negara dan bukan Penegak Hukum, maka BG menurut pasal 11 huruf a UU KPK masuk dalam kualifikasi orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara, mengingat dugaan kasus korupsi yang disangkakan kepada BG adalah suap, maka peran berantai pasti ada (peran pemberi/penerima dan memberikan lagi kepada pihak lain atau atasan dll.)," katanya.
Hakim Sarpin menurut Petrus juga menabrak larangan UU tentang Ultra Petita yaitu Hakim dilarang memberikan putusan atas sesuatu yang tidak diminta. Di dalam Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Praperadilan Hakim Sarpin memberikan bonus haram, yaitu butir 4 amar putusan berbunyi: "Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri BG yang dilakukan oleh KPK tidak sah", padahal BG di dalam posita dan petitumnya sama sekali tidak meminta point 4 putusannya itu.
Satu hal lagi, lanjutnya, bahwa karakteristik kerja penyidik KPK agak berbeda apalagi kewenangan menghentikan penyidikan tidak dimiliki KPK, maka berdasarkan pasal 44 UU KPK, pada tahap penyelidikan itulah KPK harus sudah menemukan sekurang-kurangnya 2 alat bukti permulaan, sehingga dengan demikian siapa tersangkanya sudah dikantongi penyelidik KPK. Jika dihubungkan dengan pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyatakan: Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannnya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Karena itu pada saat dikeluarkannya Sprindik pada tanggal 12 Januari 2015 itu, siapa tersangka pelakunya tentu sudah jelas dan terang dikantok penyelidik KPK. Inilah bedanya dan kelebihan yang dimiliki oleh KPK yang tidak dimiliki POLRI dan Kejaksaan.
Sementara itu Petrus Balla Pattyona, SH, MH salah satu advokat FAKSI yang juga hadir sebagai penanggap bedah putusan, menyatakan bahwa Putusan Hakim Sarpin merupakan inspirasi bagi semua pihak, baik bagi BG, KPK, MA, Polri dan kita semua tergantung bagaimana kita memaknai dan merasionalkan inspirasi ini secara positif demi kemajuan hukum kita. "BG juga harus kita anggap memiliki peran positif dalam upaya Praperadilan ini, begitu juga Hakim Sarpin, meskipun putusannya sesat tetapi menjadi inspirasi bagi semua umat manusia di Indonesia dalam mencari keadilan," katanya.
Hasil diskusi mebedah putusan Hakim Sarpin dalam Praperadilan BG akan disampaikan kepada KPK dengan permintaan agar KPK tidak boleh melimpahkan hasil pememeriksaannya kepada Kejaksaan atau POLRI. "Ingat tuntutan BG agar BAP KPK tentang transaksi keuangan Perwira POLRI agar dikembalikan kepada Polri ditolak Hakim Sarpin, mengapa KPK menyerahkan kepada Kejaksaan? Ada apa? FAKSI dan TPDI akan mengadakan pertemuan dengan Ketua MA meminta agar MA segera mengeluarkan peraturan MA untuk menerobos kekosongan hukum guna mengatasi putusan sesat Hakim Sarpin dalam Praperadilan ini sekaligus meminta MA menindak Hakim Sarpin atas tindakannya menlampaui wewenang Ketua MA dan lain-lain, kata Petrus Selestinus yang juga Koordinator TPDI itu.