TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, khususnya Pasal 7 huruf r mensyaratkan agar calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yakni ayah, ibu, mertua, paman, bibi, adik, ipar, anak, menantu.
Undang-undang tersebut pun kini digugat di Mahkamah Konstitusi. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ida Budhiati mengatakan ada dua instrumen yang dapat menjadi pertimbangan dalam menelaah gugatan hak konstitusional terkait politik dinasti di Undang-Undang Pilkada.
"Ada dua instrumen yang bisa dilakukan untuk menelaah terkait pembatasan hak konstitusional (politik dinasti). Yakni dari aspek nilai-nilai yang berlaku umum dan berkaitan dengan hak asasi manusia. Yang kedua dari hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu sebelumnya," kata Ida di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (14/4/2015).
Ida menuturkan, dirinya yakin bahwa MK akan memberikan respon setidaknya memberikan putusan atas permohonan yang diajukan ke lembaga yang kini diketuai oleh Arief Hidayat itu dalam waktu cepat. Menurut Ida, pihaknya juga telah melakukan rapat koordinasi dengan MK terkait sosialisasi tahapan pilkada serentak.
"Kita juga mempunyai pengalaman pada saat Pilpres 2014 berjalan, ada permohonan uji materi terkait periode penetapan calon terpilih. Dan MK ternyata bisa sangat responsif," katanya.