Laporan Wartawan Tribunnews.com Ruth Vania Christine
TRIBUNNEWS.COM, AMERIKA SERIKAT - Presiden RI Joko Widodo menuai kecaman dari Amerika Serikat, seusai berpidato mengkritik sejumlah lembaga keuangan internasional yang dianggap merugikan negara dunia ketiga.
Ernest Bower, peneliti Center for Strategic and International Studies Washington DC, menilai pidato tersebut menunjukkan Presiden Jokowi tidak konsisten.
Jokowi, kata dia, di satu sisi menginginkan banyak investor asing masuk ke Indonesia. Tapi di lain sisi, mengkritik sistem dan lembaga keuangan internasional semisal International Monetary Fund (IMF) dan ASian Development Bank (ADB).
"Pemerintah seperti ingin gampangnya saja. Menyuruh investor untuk datang, tapi belum siap untuk menerapkan perbaikan yang akan memfasilitasi investasi itu," ucap Bower.
Sementara Eric Sugandi, ekonom senior Standard Chartered Bank Jakarta, menyatakan pendpat berbeda.
Ia menyetujui revitalisasi sistem finansial global seperti dalam pidato Jokowi.
Namun, menurut Eric, sang presiden dalam pidato tersebut hanya sekadar memberikan pesan yang ingin didengar penonton.
"Konteksnya harus dilihat siapa penontonnya. Ini hanya retorika politik," tukasnya.
Segendang sepenarian, ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya juga menyatakan Presiden Jokowi adalah 'pelaku'.
"Keliru jika menganggapnya sebagai seorang ideolog."
Untuk diketahui, dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015, Presiden Jokowi berpidato mengemukakan pendapatnya mengenai tatabab ekonomi global baru yang diharapkan lebih terbuka untuk negara-negara berkembang.
"Pemikiran atas solusi masalah ekonomi dunia hanya terbatas pada Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Asian Development Bank (ADB)," ungkapnya.
Presiden Jokowi tidak menjelaskan seperti apa perubahannya, namun ia menambahkan bahwa hal tersebut penting agar menghilangkan terjadinya dominasi antar negara, khususnya oleh Barat.
SBY Disambut Meriah
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menjadi keynote speaker dihadapan perwakilan anggota parlemen negara sahabat dalam Konfrensi Parlemen Asia-Afrika.
Acara ini merupakan rangkaian dari peringatan 60 tahun KonfrensiAsia Afrika (KAA) yang digelar DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/4/2015).
Menggunakan bahasa Inggris Chair of Global Green Growth Institute ini berpidato mengenang ketika dirinya menjadi Presiden dan menyelenggarakan peringatan KAA ke 50.
Dia pun mengapresiasi, setelah 10 tahun berjalan, perekonomian di Asia-Afrika sudah berkembang.
"Kami berharap Asia Afrika bebas kemiskinan. Karena, Asia itu pusat ekonomi, ada Tiongkok dan Jepang. Dan Afrikaakan jadi pusat ekonomi juga, Rwanda," kata SBY.
Dirinya mengatakan ada tiga isu pertama yang harus dibahas dalam konfrensi kali ini. Yaitu, kemiskinan, pembangunan dan kekuatan internasional.
"Ini salah satu tantangan asia-afrika, terutama kerjasama selatan-selatan. Sekarang kita lebih mudah dibanding 60 tahun, kita lebih punya banyak sumber daya alam, yang bisa dibagi merata antara kita," kata SBY.
Lebih lanjut dirinya juga menyinggung soal kemerdekaan Palestina. Indonesia, tambahnya, juga sudah memberikan pelatihan kepada ratusan warga Palestina di bidang pembangunan.
Ketua Umum Partai Demokrat ini juga menyinggung tentang dinamika politik yang ada. Menurutnya, apapun model ekonomi dan paham politik yang dianut, tanpa pemerintahan yang baik hal itu tidak akan tercapai.
"Tugas parlemen di dunia harus meyakinkan pemerintah memerintah dengan baik bagi masyarakatnya," kata dia.
Usai pidato selama sekitar 15 menit SBY mendapatkan tepuk tangan meriah atau standing applause dari seluruh hadirin.