TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) kembali menentang keras langkah Presiden Jokowi. Menentang untuk menghadirkan kembali “rezim jagal” – lewat perintah eksekusi Kejaksaan Agung pimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo – dengan mengerahkan para algojo untuk mengarahkan dan menembakkan senapan-senapan laras panjang ke tubuh para terpidana mati dalam kasus narkotika atau narkoba.
PBHI menyerukan pemerintah cq Kejaksaan Agung untuk menyetop dihadirkan kembalinya sosok “rezim jagal” itu, dengan membatalkan rencana eksekusi atas 68 orang terpidana. Cukup sudah enam nyawa terpidana melayang di tangan para algojo pada 18 Januari silam.
"Jangan tambah lagi perbuatan membunuh atau mencabut habis hak untuk hidup setiap terpidana hanya demi citra “perang melawan penjahat narkoba”, bahkan dilakukan tanpa keputusan yang meresmikan “keadaan darurat narkoba," Suryadi Radjab Sekretaris PBHI dalam rilisnya kepada tribunnews.com, Selasa (28/4/2015).
Dijelaskan, sebagian terpidana diduga hanyalah “pesuruh” atau orang yang dimanfaatkan atas keluguan oleh para pemasok narkotika. Salah satu kasus adalah yang menimpa warga Filipina Mary Jane Fiesta Veloso yang diduga sebagai “korban” perdagangan manusia (trafficking).
Mary Jane juga mengalami proses peradilan yang tak mencukupi tanpa dihadirkan penerjemah yang akhirnya menyeretnya dijatuhi hukuman mati. Sehingga timbul pertanyaan: siapa yang sesungguhnya dilindungi penegak hukum dan pengadilan itu?
PBHI perlu menanggapi pernyataan Presiden Jokowi tentang kedaulatan hukum RI sebagai dalih untuk ngotot melaksanakan hukuman mati. Perhatikan baik-baik Pasal 28I ayat (1) UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum.
Kemudian, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Demikian pula keberadaan UU No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan Kejam lainnya, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Harkat Manusia. Bukankah Presiden Jokowi hanya bersandar pada putusan pengadilan yang terpaku pada UU No. 35/2009 tentang Narkotika? Sebaliknya tidak berpegang pada konstitusi.
"Proses peradilan di Indonesia juga ditandai dengan praktik diskriminatif. PBHI meminta Presiden Jokowi dan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mengingat kembali dan buka mata atas kasus penyelundupan narkotika yang melibatkan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Idha Endi Prasetyono dan Brigadir Harahap, dengan barang bukti narkotika seberat 6 kilogram," Suryadi mengingatkan.
"Mereka ditangkap Polis Diraja Malaysia di Bandara Kuching, pada 30 Agustus 2014, sebelum diserahkan kepada Polda Kalimantan Barat. Ke manakah mereka sekarang? Adakah pengusutan yang mendalam? Apakah mereka sudah dijatuhi hukuman? Ataukah kasus mereka dipetieskan?" ia mempertanyakan.
Jadi, lanjutnya, apa sesungguhnya yang hendak ditunjukkan pemerintahan Jokowi atas pengerahan para algojo itu untuk menembak mati para terpidana? Kedaulatan hukum macam apa yang hendak ditegaskannya? Bagaimana mungkin kedaulatan hukum bisa ditegakkan bila sejumlah petugas penegak hukumnya korup dan terlibat jaringan narkotika tanpa jelas hukuman mereka?
PBHI menduga pelaksanaan hukuman mati itu seperti hendak menutupi kegagalan dalam membongkar korupsi di bawah pemerintahan Jokowi.
Apalagi KPK sudah dipecundangi dan hanya lewat praperadilan – bukan pengadilan tindak pidana korupsi – seorang tersangka korupsi yang tidak pernah ditangkap, ditahan dan digeledah atau disita harta kekayaannya, justru diputuskan bebas karena status tersangkanya dinyatakan tidak sah.
"Sekali lagi, kedaulatan hukum macam apakah yang terjadi di bawah Jokowi yang lembek terhadap jaringan koruptor?" PBHI menegaskan.