News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemerintah Didorong Bangun PLTN

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BENAHI JARINGAN - Para pekerja, yang bertahan di PLTN Fukushima, Jepang yang rusak akibat gempa dan tsunami, menghubungkan jaringan transmisi untuk memulihkan pasokan listrik ke reaktor nuklir nomor 3 dan 4.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) dan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) mendorong pemerintah menggunakan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik.

Kekhawatiran jatuhnya korban jiwa karena kebocoran reaktor nuklir seperti terjadi di Chernobyl dan Fukushima kurang beralasan. Meski jatuh korban jumlahnya tak seperti yang diinformasikan di internet.

"Jumlahnya tak bisa dipertanggungjawabnya persisnya. Kalau kecelakaan nuklir, sumber dari PBB yang harus dipercaya," kata Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia Arnold Soetrisnanto di Jakarta, Senin (27/4/2015).

Memang korban jiwa dalam sejarah reaktor nuklir lebih sedikit dibandingkan korban yang dikabarkan. "Lebih banyak korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas dibandingkan kejadian nuklir," katanya.

MPEL dan HIMNI mendesak pemerintah menggunakan tenaga nuklir sebagai pembangkit listrik.

"Kami tidak akan membiarkan pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan listrik sementara ada solusi tepat untuk mengatasinya," kata Ketua HIMNI, Budi S Sudarsono.

Upaya pembangkil listrik nonnuklir seperti tenaga panas bumi, surya, angin, biofuel, arus laut, dan sebagainya masih menghadapi banyak kendala.

"Hanya pusat listrik bertenaga panas bumi yang mampu menambah kapasitas daya listriknya, dan itupun ordenya hanya
ratusan mega-watt," katanya.

Berbagai kendala dihadapi para investor dalam pengembangan EBT (energi baru terbarukan), di antaranya rendahnya harga minyak dewasa ini, biaya eksplorasi yang sangat mahal dan berisiko, faktor efisiensi energi yang masih rendah.

Juga ongkos produksi yang belum mencapai harga keekonomian dan adanya benturan kepentingan antara untuk memenuhi kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan (khususnya untuk biofuel).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini