TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih belum memutuskan untuk mengganti Kepala Badan Intelijen Negara.
Analis Intelijen dari The Indonesia Intelligence Institue Ridlwan Habib menilai, hal itu merupakan bentuk kehati-hatian Presiden Jokowi.
Menurutnya, posisi seperti Kepala BIN adalah jabatan sangat stategis karena analisa dan prediksinya menentukan kebijakan kebijakan presiden.
"Tidak boleh tergesa-gesa dan memang harus cermat," ujarnya dalam diskusi bertema mencari sosos Kepala BIN Ideal di Ladang Kopi, Jakarta Selatan, (28/4/2015).
Pimpinan lembaga negara mata-mata Indonesia itu hingga kini masih dijabat oleh Letjen (Pur) Marciano Norman.
Menurut Ridlwan, Kepala BIN yang baru bukan harus dilihat dari latar belakangnya, tapi lebih penting kompetensinya di dunia intelejen.
Termasuk, kata dia, perdebatan soal apakah dari militer atau non militer, dari parpol atau non parpol itu kurang relavan.
"Yang jauh lebih penting adalah track record dan kemampuan di bidang intelijen," kata alumni S2 Kajian Stratejik Intelejen Universitas Indonesia itu.
Dia menjelaskan, seorang Kepala BIN harus mempunyai kemampuan pengendalian agen lapangan. Sekaligus matang dalam analisa hasil laporan anak buahnya.
"Sebelum dilaporkan kepada pengguna BIN yakni Presiden, semua laporan harus melewati Kepala BIN. Karena itu, seorang kepala harus paham lapangan sekaligus jago analisa," imbuhnya.
Selain itu, Kepala BIN idela menurutnya harus mempunyai pemahaman terhadap teknologi intelejen modern.
"Saat ini tidak hanya human intelligence, ada sinyal intelligence ada imager intelligence, ada open source intelligence. Seorang kepala harus menguasai itu," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Intelijen Diyaddin, menambahkan, kekhawatiran BIN dimanfaatkan sebagai alat individu atau golongan tertentu sudah tidak relavan. Sebab, saat ini, selain parlemen, masyarakat juga punya fungsi kontrol.
"Sekarang pers sudah bebas dan punya akses luar biasa. Juga elemen-elemen sipil," katanya.