Oleh: Boni Hargens
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum lama ini kami terlibat diskusi soal dilema etika dengan Profesor Gabriel Telleria dari Amerika Serikat. Ia membagi pengalaman singkat lewat surat elektronik (17/6/2015).
Seusai mengajar di satu universitas di Tiongkok, Telleria diundang oleh seorang mahasiswa untuk menemui ayahnya yang pebisnis ternama di negeri itu.
Telleria terjebak dalam dilema etika. Kalau undangan diterima, serentak ia menabrak garis relasi profesional antara profesor dan mahasiswa. Kalau tidak diterima, ia menabrak kesadaran standar moral pribadi yang "mengharuskan" tiap orang menghargai kebaikan orang lain. Telleria belum memberitahukan pilihan final yang diambilnya. Yang jelas, dalam studi etika politik, pengalaman Telleria adalah model sederhana dari konflik etika dalam beragam situasi.
Dalam kondisi politik yang rumit, bertabur kepentingan terselubung, dilema etika adalah tantangan berat dalam membuat keputusan. Haruskah UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direvisi dalam situasi adanya kekuatan ingin melumpuhkan komisi tersebut? Kepada siapa mereka yang mendesak revisi harus bertanggung jawab secara etis: masyarakat atau kelompok?
Dilema etika adalah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara tujuan baik yang didasarkan pada kesadaran moral pribadi/kelompok atau tujuan baik yang berdasarkan pada kode etik yang lebih luas. Keduanya sama-sama bertujuan baik.
DPR berdalih, revisi UU KPK dalam rangka menguatkan peran lembaga tersebut. Setidaknya ada lima hal: (1) kewenangan penyadapan; (2) kewenangan penuntutan; (3) keberadaan dan kewenangan Komite Kerja Pengawas; (4) penguatan aturan kolektif-kolegial; dan (5) penataan kembali struktur internal. Intensinya baik. Namun, politik sering kali tidak linear. Sebagian pengamat menuduh ada siasat sistematis melemahkan KPK dibalik upaya revisi kewenangan penyadapan.
Prinsip etis
Betul bahwa tahun 2011 Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan tata cara penyadapan dalam Pasal 31 Ayat (4) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, sebagai lex specialis, UU KPK tidak bisa dikebiri oleh aturan hukum lain di luarnya. Apalagi penyadapan adalah roh utama KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo menolak revisi UU KPK sudah tepat secara etis. Artinya, pemerintah mengambil jalan yang benar secara moral sebagai wujud dari apa yang disebut sebagai "tanggung jawab etis" (Cooper, 2012; Dryburgh, 2009).
Tentu tidak ada yang salah dengan manuver politik di Senayan. Begitulah hakikat dari politik sebagai praktik kekuasaan di tangan manusia yang kodratnya, kata Aristoteles, "binatang politik" (zoon politikon). Namun, prinsip etika jabatan mengharuskan wakil rakyat membuat keputusan yang berdasar secara etis (O'Leary, 2014).
Artinya, prinsip etis adalah roh dasar dari keseluruhan proses pengambilan keputusan. Salah satu prinsip etis yang umum adalah kepentingan umum merupakan tujuan teleologis dari seluruh kerja wakil rakyat, termasuk pejabat publik umumnya.
Masalah kita adalah penghayatan yang berlebihan dan keliru tentang politik sebagai "seni kemungkinan" (Otto von Bismarck, 1867). Padahal, logika pragmatis tak serta-merta menghalalkan politik yang mengabaikan-bahkan membunuh-prinsip etis. Untuk itu, DPR tak hanya bekerja untuk partai atau faksi terbatas, di mana mereka membangun kepentingan parsial, tetapi terutama harus mengedepankan kepentingan rakyat dan negara.
Dalam konteks revisi UU KPK, perdebatan sudah selesai persis ketika pemerintah menolak agenda tersebut. Tidak ada esensi dan urgensi di balik revisi tersebut, kecuali kepentingan parsial yang ingin melemahkan KPK. Basis moral dari agenda revisi yang dipertahankan sebagian anggota DPR itu sudah pada dirinya rapuh.
Menilai sebuah keputusan mengandung dasar moral atau tidak, ukurannya sederhana. Pertama, keputusan harus paralel dengan kepentingan umum. Kedua, keputusan dibuat dengan basis etik dan kesadaran moral. Ketiga, keputusan yang diambil adalah proyeksi dari partisipasi dan kerja sama semua bagian di dalam institusi. Keempat, keputusan itu melibatkan deliberasi publik (Cooper, 2012:165-192).
Kalau diperhatikan dengan jernih, banyak energi politik terkuras untuk hal yang tak signifikan. Itu terjadi karena: (1) kegagalan dalam membuat keputusan yang berbasis etika (ethical decision-making), di mana ada prinsip tertinggi yang tertentu yang menjadi pusaran transendensi dari keseluruhan pertarungan nilai dan kepentingan dalam medan politik yang pragmatis; (2) pragmatisasi politik berbasis hukum positif semata mengabaikan prinsip etis yang mengandaikan adanya refleksi moral dalam berpolitik.
Segala sesuatu diukur dari pasal-pasal dalam UU. Begitu UU tumpang tindih, kerumitan menjadi berkepanjangan. Kadar moral dalam politik pun menjadi kering. Prinsip etis tidak menuntut semua politisi menjadi malaikat. Tuntutan mendasarnya sederhana bahwa tiap politisi mesti bertindak dengan dasar moral dan untuk tujuan yang baik bagi banyak orang.
Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2015 dengan judul "Basis Moral Revisi UU KPK".