TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti angkat bicara soal
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri (KOREKSI) yang meminta Polri tidak lagi menerbitkan SIM dan STNK.
Menurut Kapolri, selama ini kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM dan STNK dapat membantu pengungkapan kasus-kasus kejahatan.
Sehingga ia pun menepis anggapan dari KOREKSI yang menyatakan dengan mengurusi SIM dan STNK, tugas utama Polri terbengkalai.
"Itu kan (penerbitan SIM dan STNK) ada kaitannya juga dengan pengungkapan kasus kejahatan. Penerbitan registrasi bisa mengidentifikasi masalah kendaraan bermotor," katanya, Jumat (3/7/2015) di Mabes Polri.
Badrodin menambahkan, pada kasus bom Bali melalui identifikasi registrasi kendaraan yang sudah hancur berkeping-keping bisa diungkap.
Untuk diketahui, KOREKSI meminta Polri tidak menerbitkan SIM dan STNK. Menurutnya penerbitan dua surat itu seharusnya diberikan ke Kementerian Perhubungan.
Koordinator KOREKSI, Erwin Natosmal Oemar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (1/7/2015) lalu mengatakan sebaiknya Polri fokus dengan tugas dan fungsinya sesuai dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Menurut Erwin, kewenangan Polri yang tercantum di dalam UU terkait penerbitan SIM dan STNK, berlawanan dengan konstitusi tersebut.
Atas dasar itulah, ia mengajukan permohonan uji materi dua Undang-undang sekaligus ke MK, yakni UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap UUD 1945.
"Akibat kewenangan ini, fungsi utamanya Polri terbengkalai. Kami bersama beberapa pemohon mencoba mendorong kepolisian ke arah lebih baik," ucapnya.
Erwin menambahkan Polri juga tidak mampu membuktikan tranparansi terkait penerbitan SIM dan STNK, setelah adanya revisi UU No 3 tahun 1965. Undang-undang itu, tidak memberikan kewenangan pada Polri untuk menerbitkan SIM.