Itu mengingat dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 suara yang diraih lima partai politik teratas hanya sedikit di atas sepertiga suara yang diperoleh Presiden Jokowi. PDI-P meraih 23,7 juta suara (18,95 persen), Golkar 18,4 juta suara (14,75 persen), Gerindra 14,76 juta suara (11,81 persen), Demokrat 12,7 juta suara (10,19 persen), dan PKB 11,3 juta suara (9,04 persen).
Apalagi Kabinet Kerja yang dipimpinnya telah bekerja selama delapan bulan sehingga Presiden Jokowi telah merasakan sendiri bagaimana memimpin suatu kabinet yang dibentuk dengan pertimbangan politik. Kita sungguh-sungguh berharap Presiden Jokowi tidak mengulang kembali kesalahan yang sama.
Kita melihat, Presiden Jokowi memerlukan sosok yang berpengaruh di dalam tim ekonominya untuk meyakinkan masyarakat luas bahwa tim ekonomi di dalam kabinet yang baru itu dapat diandalkan dalam mengatasi persoalan ekonomi yang menghadang di depan.
Namun, kita juga menyadari bahwa reshuffle tidak akan serta-merta menyelesaikan semua masalah. Dari luar memang semuanya terlihat mudah, tetapi jika sudah benar-benar berada di dalam, barulah disadari besarnya persoalan yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah upaya mengendalikan harga-harga bahan pokok tidak semudah dipersepsikan banyak orang. Tali-temali persoalannya sedemikian rumit sehingga mengatasinya juga tidak mudah. Itu baru menyebutkan salah satu contoh, masih banyak lagi contoh yang tidak kalah rumit penanganannya.
Akan tetapi, kita yakin jika kabinet diduduki oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing, dan mempunyai kepribadian yang baik, persoalan yang dihadapi bangsa ini dapat diatasi. Biarlah waktu yang akan membuktikan itu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2015, di halaman 2 dengan judul "”Reshuffle”".