Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat berkomentar mengenai pasal penghinaan kepada presiden yang masuk dalam pembahasan RUU KUHP. Pasalnya, pihak Istana menyebutkan RUU KUHP yang akan dibahas telah diajukan sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kebiasaan salahkan pemerintahan masa lalu, adalah tanda tidak percaya diri. Berani mengajukan lagi, harusnya siap mempertahankannya," kata Juru Bicara Demokrat Didi Irawadi ketika dikonfirmasi, Jumat (7/8/2015).
Didi mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden memang pernah masuk dalam rancangan KUHP di era masa lalu. Namun, sesungguhnya hal itu merupakan bagian rancangan KUHP baru yang sudah dibuat sejak hampir 30 tahun lalu, jauh sebelum era SBY. "Untuk memperbaiki pasal-pasal KUHP peninggalan kolonial," katanya.
Ia mengatakan pada masa pemerintahan SBY rancangan tersebut tetap belum pernah dibahas hingga tuntas dan masih terbatas pada naskah akademik. "Yang punya kewenangan dan kekuasaan saat ini adalah pemerintahan Jokowi.
Justru pemerintahan sekarang manakala tidak yakin perihal pasal-pasal terkait, maka bisa langsung mencabut rancangan pasal tersebut sebelum diajukan kembali ke DPR," ungkapnya.
Namun, kata Didi, bila tetap yakin dengan rancangan yang telah diajukan maka harus siap untuk mempertahankan argumentasi. Alasannya, siap diuji dalam pembahasan di DPR, dan diskursus dihadapan publik.
"Justru menjadi aneh manakala tiba-tiba jadi tidak percaya diri dengan usulan yang diajukan lalu berkelit dengan melempar tanggung jawab," imbuhnya.
Menurut Didi, tidak elok ketika wacana menghidupkan kembali pasal penghinaan tersebut yang sudah terlanjur dilemparkan orang-orang sekeliling pemerintahan Jokowi. Kemudian orang-orang tersebut manakala mendapat reaksi negatif dan resensi yang tinggi dari publik, menjadi tidak percaya diri.
"Lalu berkelit dengan menyalahkan pemerintahan masa lalu. Siap mengajukan kembali, tentunya harus percaya diri. Harus ksatria, dan siap mempertahankannya," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menjelaskan, draf revisi KUHP sebetulnya telah diajukan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun, saat itu pembahasannya belum tuntas.
"Putusan MK kan tahun 2006. Kemudian pemerintahan SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya, sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah. Lalu oleh Menkum HAM sama DPR diputuskan untuk masuk dalam prolegnas tahun 2015. Jadi secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu," kata Teten.
Menurut Teten, revisi KUHP soal pasal penghinaan presiden tengah disusun agar lebih matang. Dengan tujuan hasil revisi ini memberikan interpretasi penegakan hukum yang lebih jelas.
"Kalau sekarang yang di KUHP itu pasal karet, siapa pun bisa dikenakan tergantung interpretasi penegak hukum. Kalau yang di RUU yang baru itu pasalnya lebih tegas," imbuhnya.