Oleh: Hamid Awaluddin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setya Novanto dan Fadli Zon serta beberapa anggota DPR RI muncul di antara barisan pendukung Donald Trump dalam konferensi pers dan kampanye di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu. Kehadiran mereka telah memantik kegaduhan baru di Tanah Air.
Caci maki, sindir-menyindir, komentar yang bernas dan tak bermutu, juga elakan-elakan halus para pendukung dan sentilan-sentilan jenaka, membuat alun-alun politik Indonesia dan dunia maya benar-benar ramai dan semrawut.
Sesungguhnya, hadir, bertemu, dan diperkenalkan di ajang politik di negeri besar, seperti Amerika Serikat, bukanlah masalah, bahkan cenderung membanggakan bagi pribadi-pribadi, terutama kaum selebritas politik. Namun, Setya Novanto dan Fadli Zon adalah Ketua dan Wakil Ketua DPR RI, lembaga tinggi negara. Kehadiran mereka di AS pun bukan dalam rangka liburan keluarga, melainkan datang sebagai pemimpin lembaga legislatif Indonesia, lembaga perwakilan puncak di negeri berpenduduk 250 juta jiwa.
Hulu masalah
Mereka datang ke AS seolah sungkem kepada Donald Trump, pemilik hotel-hotel kasino besar di Las Vegas dan sejumlah kota lain. Mereka datang kepada orang kaya yang oleh sebagian kalangan dipersepsikan sangat anti pendatang, sangat tidak suka kepada Muslim, dan tengah menapaki jalan ke takhta presiden AS.
Di sinilah hulu masalah karena mereka datang dalam acara kampanye Donald Trump. Sesuatu yang ditabukan bagi orang asing, terutama para pejabat, karena bisa dinilai memberi dorongan atau melakukan intervensi politik negara lain.
Rombongan DPR RI yang datang itu membangun alibi bahwa itu bukan kampanye karena Donald Trump belum resmi jadi calon Partai Republik. Ini sebuah kekeliruan paham yang sangat asasi sebab—di AS—begitu seseorang menyatakan diri maju jadi calon presiden, saat itulah ia mulai berkampanye. Di Indonesia memang beda sebab di negeri ini kampanye terbatas dalam konteks ruang dan waktu.
Kita ikuti kutipan percakapan Trump-Novanto berikut ini.
Trump (sembari memegang bahu Novanto): "Apakah orang Indonesia menyukai saya?"
Novanto: "Ya, sangat."
Masihkah kita terlampau naif untuk memahami percakapan ini bukan sebagai kampanye buat Trump? Jawaban spontan Ketua DPR RI yang memberi pesan kuat bahwa orang Indonesia sangat menyukai Trump mungkin karena Novanto sangat yakin bahwa semua orang Indonesia menonton siaran langsung perebutan gelar tinju profesional atau kontes Miss Universe dari Hotel Las Vegas.
Alibi lain yang dipakai rombongan Novanto untuk membenarkan kehadirannya dalam kampanye Trump adalah bahwa mereka tidak tahu dan hanya didadak, digiring masuk ke ruangan untuk jumpa pers. Bukan kampanye. Masalahnya, semua mata memandang dengan terang dan jelas, para pendukung Trump membawa poster-poster besar tentang Trump. Sejatinya, begitu Novanto melihat poster-poster tersebut, ia dan rombongan semestinya minta izin untuk langsung pergi. Bukan berdiri untuk dipotret.
Kunjungan Setya Novanto tersebut memang hingga kini belum mengemuka di AS. Namun, begitu Trump kelak jadi kandidat sah Partai Republik, pastilah agenda ini menjadi tema besar-besaran dan akan menimbulkan kegaduhan. Sebab, beberapa tahun silam, tatkala Presiden Bill Clinton maju untuk kedua kalinya, muncul kasus Lippogate yang menghebohkan itu. Grup bisnis Lippo, melalui karyawannya, John Huang, dianggap dan memang terbukti di pengadilan bersalah memberikan donasi politik melampaui batas yang semestinya. Orang-orang Republik menghantam habis-habisan Clinton dan Demokrat. Bisa jadi, kelak, kunjungan Setya Novanto dan kawan-kawan itu dijadikan tema kampanye orang-orang Demokrat: "Novantogate".
Dalam praktik, jika ada pejabat yang berkunjung ke sebuah negara, pihak kedutaan atau konsul jenderal selalu berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pejabat bersangkutan menyangkut agenda dan dengan siapa akan bertemu. Sebab, kunjungan tersebut menyangkut simbol negara dan harkat/martabat bangsa di luar negeri. Namun, untuk kasus tertentu, adakalanya pejabat meminta waktu khusus untuk tidak diatur. Saya yakin, kunjungan Novanto ke Donald Trump di luar agenda kedutaan atau konsul jenderal kita di sana. Sebab, jika mereka tahu, pastilah mereka tidak merekomendasi pimpinan dan anggota DPR RI kita itu untuk menghadiri acara kampanye Donald Trump tersebut. Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI kita memiliki pengetahuan tentang sensitivitas politik.
Urusan politik atau bisnis?
Yang patut ditelusuri dengan cermat, mengapa di antara sekian banyak anggota rombongan, hanya beberapa orang yang bertemu Donald Trump. Apakah anggota rombongan lain sudah diberi tahu atau sengaja tidak diberi tahu? Biarlah kelak ini menjadi agenda khusus Mahkamah Kehormatan Dewan.
Mahkamah juga perlu menggeledah, sejauh mana keterlibatan kedutaan atau konsulat jenderal kita di New York dalam hal kehadiran Novanto dan kawan-kawandalam acara kampanye Trump tersebut. Kalau memang kehadiran dan kunjungan Novanto dan kawan-kawan ke Donald Trump tidak ada kaitannya dengan politik, urusannya adalah urusan bisnis.
Trump adalah pebisnis andal AS. Hary Tanoesoedibjo—sosok di balik pertemuan itu—yang merambah jalan sebelum kunjungan Novanto, juga pebisnis dalam berbagai iklim di Tanah Air. Dan, sebagaimana kita pahami, Novanto juga pebisnis ulung dalam segala cuaca dengan jenis bisnis segala hal. Nah, yang satu ini sangat logis dan tak perlu lagi mencari-cari alibi untuk membenarkan atau menolaknya. Inilah yang disebut hubungan B to B alias bisnis dengan bisnis.
Hamid Awaluddin
Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Pimpinan DPR di Arena Trump".