TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR dalam draft revisi atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghilangkan kewenangan penuntutan lembaga antirasuah itu.
Dalam draft revisi itu, DPR menugaskan KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk pencegahan korupsi.
Diduga langkah DPR itu sebagai upaya untuk membubarkan KPK.
"Maka status KPK sama dengan kepolisian dimana berkas perkara suatu tindak pidana korupsi harus disampaikan ke kejaksaan terlebih dahulu. Dengan demikian, berlakulah tahapan P19 dan 21 yang terjadi selama ini diantara kepolisian dan kejaksaan," kata bekas Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, di Jakarta, Kamis (8/10/2015).
Kesamaan antara KPK dengan Kepolisian kemudian akan melahirkan argumentasi mengenai urgensi berdirinya KPK.
"Kalau penanganan kasus oleh KPK sama dengan kpolisian, maka lahirlah pertanyaan, untuk apa ada KPK. Toh yang dilakukan KPK sama juga dengan yang dilakukan kepolisian. Pada waktu itulah tamat sudah eksistensi KPK," beber Hehamahua.
Abdullah juga mengkritik draft tersebut lantaran memberikan kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kritik Hehamua lantaran KPK sebenarnya pada tahap penyelidikan sudah mengantongi dua permulaan bukti yang cukup untuk melanjutkan ke tahap penyidikan.
"Kewenangan menerbitkan SP3, hal itu menghilangkan karakter KPK sebagai lembaga khusus yang memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Sebab, jika dalam proses penyelidikan (di KPK) tidak ditemukan bukti permulaan berupa dua alat bukti, maka proses penylidikan dinyatakan dihentikan," tukas Hehamahua.