TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara harus sadar bahwa kebakaran hutan kali ini bukan hal yang biasa. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia beberapa waktu belakangan ini bersifat masif dan sistematis.
Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo kepada wartawan di Jakarta, Rabu (21/10/2015), mengatakan, negara harus melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini bukan peristiwa biasa lagi.
“Kebakaran bersifat masif dan sistematis. Masif karena ini terjadi dimana-mana. Sistematis karena kasus kebakaran beruntun dari Sumatera hingga Papua,” kata Firman.
Karena itu, politisi senior Partai Golkar itu menduga ada yang mendesain kasus kebakaran ini dengan menjastifikasi kemarau yang panjang.
Apa motivasi mendesain kebakaran hutan dan lahan? Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu, motivasinya adalah masalah politik ekonomi.
Lahan yang terbakar sebagian besar adalah perkebunan kepala sawit dan hutan produksi untuk pembuatan kertas.
“Sawit itu akan jadi lawan minyak nabati. Karena itu, asing melalui berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Norwegia, berusaha mematikan potensi nasional,” katanya.
Karena itu, Firman Soebagyo mengingatkan pemerintah untuk objektif dan jangan asal menuduh apalagi memvonis perusahaan melakukan pembakaran tanpa memverifikasi terlebih dahulu.
Firman Soebagyo juga meminta pemerintah untuk tidak asal mempercayai pernyataan beberapa LSM, karena banyak dari mereka menjadi operator kepentingan asing. Karena ada kasus di Kalimantan Barat (Kalbar), dimana pemerintah mencabut izin usaha PT MAS.
“Ini lucu, karena PT MAS di Kalbar belum mendapat izin beroperasi, tetapi pemerintah mengumumkan mencabut izinnya. Karena itu saya berkali-kali meminta BIN dan aparat Kepolisian untuk menyelidiki LSM-LSM yang suka mendiskreditkan kebijakan nasional,” katanya.
Sesalkan Pemerintah
Sementara itu, advokat dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menyayangkan sikap pemerintah dalam menangani persoalan kebakaran hutan dan lahan seperti menghadapi kasus kejahatan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), dimana si pelaku dipanggil hadir dalam suatu persidangan kilat hanya untuk mendengarkan vonis hakim tanpa ada proses pembelaan sedikit pun.
“Pemerintah seolah menjadi hakim yang seenaknya memvonis pemilik perusahaan sebagai pelaku pembakaran hutan tanpa proses hukum. Ini jelas melanggar asas negara hukum dan bergaya Orde Baru,” katanya.
Di pihak lain, kata dia, ada perusahaan yang dituduh membakar hutan, tetapi tanpa disertai bukti-bukti valid. Kemudian perusahaan itu diberi sanksi.