News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menteri Kesehatan Gandeng KPK Atur Gratifikasi Dokter

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat (6/11/2015).

TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk menghindari gratifikasi terhadap dokter, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Dr Zainal Abidin, bertandang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

Menteri Nila mengaku selama ini hanya ada Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2014 yang mengatur terkait gratifikasi terhadap Pegawai Negeri Sipil.

Sementara untuk dokter belum ada.

"Seharusnya keseluruhan bahwa kami kaitkan dengan IDI. Sebenarnya tentu gratifikasi harus kita atur. Makanya saya ingin penjelasan KPK apa itu gratifikasi, sampai batas mana. Kita juga ingin bangun sistem kalau memang dirasakan gratifikasi, kita ingin bangun lagi dengan aturan yang lebih," ujar Nila di KPK, Jakarta, Jumat (5/11/2015).

Nila mengatakan sebenarnya Kementerian Kesehatan sudah menyusun draft soal gratifikasi.

Draft tersebut perlu dikonsultasikan ke KPK agar semua pihak terakomodir untuk dokter, masyarakat dan untuk keseluruannya.

Nila pun mencontohkan mengenai pembengkakan biaya obat akibat promosi dan marketing.

Nilai mengakui memang harus ada keuntungan karena itu adalah sebuah usaha.

Akan tetapi, Nila menginginkan agar keuntungan tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau melewati batas wajar.

"Kalau nggak melewati dana marketing ya nggak masalah karrna satu kesatuan. Tapi kalau melewati dan dipakai oleh yang bersangkutan untuk alasan yang tidak tepat itu," beber Nila.

Sementara itu Dr Zainal menambahkan sistem tersebut untuk mengatur agar perusahaan farmasi berhubungan langsung dengan pemerintah dan bukan ke dokter secara langsung.

Sistem tersebut untuk menghindari kongkalikong antara perusahan farmasi dengan dokter secara pribadi atau sembunyi-sembunyi.

Misalnya saja, dokter akan mendapat imbalan sesuatu apabila berhasil menjual obat dari sebuah perusahaan farmasi.

"Kalau seperti itu secara etik tidak boleh. nggak boleh ada kontrak antara dokter dan perusahaan. Mestinya ada yang kontrol. Pemerintah harus kontrol, " kata Zainal.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini