TRIBUNNEWS.COM - Demi masa depan bangsa dan sebagai tempat anak dan cucu hidup di masa depan sampai akhir zaman, Indonesia harus berani mengatakan tidak kepada fundamentalisme dalam bentuk apapun.
Hanya dengan bersikap tegas dan menolak fundamentalisme, Indonesia memberi masa depan yang penuh pengharapan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari untuk dapat hidup tanpa penindasan, tanpa ketimpangan, tanpa ketidakadilan serta tanpa kebencian.
Demikian ditegaskan Ketua Forum Indonesia 2050, Teguh Santosa, yang juga mantan Ketua Bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah, Minggu (15/11/2015), menanggapi peristiwa berdarah di Perancis dua hari lalu.
Menurut Teguh, Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya tengah menghadapi dua jenis fundamentalisme yang sejatinya sangat berbahaya.
Kedua fundamentalisme inilah yang membuat perdamaian di muka bumi hilang digantikan kebencian dan peperangan.
“Fundamentalisme jenis pertama sifatnya kasat mata dan dapat dengan mudah dikenali."
"Inilah yang disebut sebagai fundamentalisme sektarian, yang menggunakan identitas dan apa yang diyakini benar, juga agama, sebagai slogan perjuangan dan perlawanan. Bahkan kebencian dan kemarahan, “ ujarnya.
Fundamentalisme Sektarian ini, dijelaskan lebih lanjut, menggunakan tema kesukuan, agama, ras, dan yang paling kecil tema golongan.
Fundamentalisme jenis ini dengan mudah menciptakan identitas, menarik demarkasi antara "aku" dan "kamu", "kita" dan "mereka".
Sementara fundamentalisme jenis kedua sifatnya tidak kasat mata dan sulit dikenali. Disebut sebagai fundamentalisme pasar, keyakinan bahwa pasar adalah di atas segalanya, aktor yang menentukan mana yang baik untuk rakyat dan negara.
“Fundamentalisme pasar percaya bahwa setiap individu punya hak kebebasan yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi."
"Pada praktiknya, paham kebebasan atau liberalisasi ini menjelma menjadi neoliberalisasi dimana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang bisa mendikte mayoritas orang atau kelompok lain,” ungkap Teguh lebih jauh.
Teguh, yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah ini mengungkapkan juga, pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan instrumen untuk memerdekakan individu menjelma menjadi instrumen bagi individu tertentu untuk menguasai tema-tema besar politik dan ekonomi.
Fundamentalisme pasar melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru serta memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran fundamentalisme sektarian.
“Kita berduka atas apa yang terjadi di Paris pada Jumat malam lalu. Kengerian yang tak terbayangkan sebelumnya."
"Horor yang telah terjadi sejak beberapa waktu lalu di banyak tempat di muka bumi. Namun berduka saja tidaklah cukup,” ujar dosen London School of Public Relations ini.(*)