News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Peneliti Beberkan Dampak Buruk RUU 'Contempt of Court'

Penulis: Edwin Firdaus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi palu hakim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI),‎ Dio Ashar Wicaksana menilai adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Contempt of Court yang diusulkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menimbulkan kekhawatiran tersendiri.

Meskipun awalnya dibentuk dengan adanya semangat melindungi peradilan dari proses intervensi, namun adanya RUU ini, menurutnya berpotensi buruk bagi masyarakat umum.

Oleh karena itu, MaPPI mencatat beberapa poin perihal adanya RUU tersebut.

Pertama, kata Dio, terlepas dari ketidakjelasan ruang lingkup pengaturan Undang-undang Contempt of Court, adanya RUU ini berpotensi akan adanya tumpang tindih luar biasa antara ketentuan dalam undang-undang Contempt of Court dengan ketentuan dalam undang-undang lain, dalam contoh ini adalah KUHP.

"Padahal, pengaturan perlindungan terhadap integritas pengadilan tidak hanya diakomodasi oleh KUHP saja, namun tersebar secara sporadis dalam berbagai undang-undang lainnya. Jika dikaitkan dengan larangan pers memberikan keterangan yang merusak integritas hakim atau pengadilan, menurut Dio, maka dapat digunakan pengaturan dalam Kode Etik Pers," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/12/2015).

Selain itu, kata Dio, perlindungan hakim saat ini juga sudah mulai diatur tersendiri didalam RUU Jabatan Hakim. Sehingga, adanya undang-undang Contempt of Court justru akan mengacaukan sistem perundang-undangan yang ada.

Kedua, prinsip pengadilan adalah terbuka untuk umum. Menurutnya, esensi peradilan terbuka untuk masyarakat, agar tidak ada jurang antara masyarakat dan pengadilan.

Sehingga masyarakat bisa melihat proses peradilan, dan mencegah adanya proses yang tidak adil. Bahkan masyarakat bisa memberikan penilaian dan masukan jika menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim.

Ketiga, lanjut dia, adanya ketentuan pidana di RUU ini berpotensi mengurangi akuntabilitas peradilan terhadap publik.

Pasalnya nantinya masyarakat akan takut memberikan masukan karena khawatir akan dipidana.

"Seperti pendapat dari Robert Klitgaard, dimana dia menyebutkan satu formula “C=M+D-A” yang artinya korupsi ( C) akan terjadi jika monopoli (M) kekuasaan ditambah diskresi (D) yang kuat tanpa diimbangi akuntabilitas (A). Padahal peran publik untuk mengawasi kinerja peradilan sangatlah dibutuhkan," ujarnya.

Lagipula, tidak jarang masukan publik berperan penting bagi perbaikan lembaga maupun aparat peradilan. Seperti contoh temuan masyarakat terhadap pelanggaran kode etik Hakim menjadi sarana MA ataupun Komisi Yudisial (KY) untuk menindaklanjuti perbaikan terhadap perilaku hakim.

"Selain itu, survei keterbukaan informasi peradilan yang dilakukan oleh MaPPI (2013) menjadi rekomendasi bagi MA untuk memperbaiki kualitas pelayanannya ke depan," ujarnya.

Keempat, terang Dio, RUU CoC tersebut berpotensi memunculkan adanya kriminalisasi baru. Menurutnya dalam konteks ini, undang-undang Contempt of Court tidak menilai dengan cermat tindakan mana saja yang layak untuk dipidana, dan mana yang bisa diselesaikan dengan cara lain.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini