TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekspresi politikus Golkar Setya Novanto tidak seperti biasanya saat mengikuti Rapat Paripurna DPR.
Kamis 18 Desember 2015 Novanto terlihat lain. Dia tak bisa menahan rasa sedih saat menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua DPR dihadapan peserta Rapat Paripurna. Kasus ‘Papa Minta Saham’ membuatnya terpaksa lengser dari jabatannya sebagai Ketua DPR yang diembannya selama satu tahun lebih.
Ia terlihat sempat terisak saat membacakan bagian akhir pidatonya. Matanya tampak merah dan berkaca-kaca. “Mudah-mudahan ini hanya terjadi pada saya, tidak terjadi pada anggota lainya,” kata Novanto sambil terisak.
“Sekali lagi apa yang saya lakukan akan saya pertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia serta kepada Allah SWT,” tambah Novanto.
Kursi Ketua DPR pun kosong. Rapat Pimpinan DPR kemudian memilih Fadli Zon sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR. Partai Golkar tempat bernaung Setya Novanto juga bereaksi cepat. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bereaksi cepat. Ia menunjuk Ade Komaruddin sebagai pengganti Novanto. Sementara, Novanto mengisi posisi Ketua Fraksi Golkar. Lalu bagaimana kinerja DPR pada 2016 sepeninggal Novanto?
Pengamat Politik dari Founding Fathers House (FFH) Dian Permata menyoroti posisi Ketua DPR sepeninggal Novanto.
“Setya Novanto sudah lengser dari Ketua DPR. Penggantinya diharapkan memetik pelajaran dari Setya Novanto selama menjadi Ketua DPR,” kata Dian ketika dikonfirmasi Tribunnews.com. Dian mengingatkan posisi Ketua DPR merupakan jabatan politik yang memiliki daya magnet berita cukup luas. Segala tindak tanduk, prilaku, kebijakan, atau pernyataannya akan selalu menyedot perhatian media massa dan publik. Makanya tidak heran jabatan Ketua DPR kerap menjadi sorotan publik. “Dia juga harus mampu menjaga ritme komunikasi sesama anggota DPR. Menjadi jembatan diantara fraksi-fraksi. Menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan wilayah kerja DPR. Seperti pemerintah, masyarakat sipil atau lainnya,” kata Dian.
Tentu aja untuk melakukan tugas berat itu, kata Dian seorang Ketua DPR harus memiliki jam terbang soal komunikasi politik yang tinggi, cakrawala akan pengetahuan yang luas, serta tidak emosional. Citra DPR paska gaduh Freeport dan polemik Setya Novanto memang tidak terlalu baik. “Tantangan ini menjadi batu ujian bagi Ketua DPR dalam mengembalikan citra serta kepercayaan publik. Butuh kerja berat serta kerja cerdas untuk memulihkannya. Akbar Tandjung saat menjadi Ketua DPR boleh dijadikan protipe sederhana saat menjalankan jabatan tersebut,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin memiliki pendapat lainnya. Ia melihat mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR adalah momentum penting dan langka bagi perbaikan citra DPR ke depan.“Kasus ini setidaknya menyiratkan dua makna,” tutur Yanuar.
Pertama, kata Yanuar, kisah dibalik jatuhnya Setya Novanto merupakan preseden amat buruk yang makin memperkuat citra DPR sebagai lembaga pemburu rente, makelar proyek, kolusi bisnis dan tempat berkumpulnya para penghamba harta.
Ia mengingatkan Setya Novanto adalah Ketua DPR, maka wajar saja jika publik menilai jangan-jangan kelakuan anggota DPR yang lain juga sama dengan pimpinan DPR. “Ketua DPR yang setiap saat diawasi publik dan pers bisa seenaknya berbuat tercela sebagai makelar saham dan mega proyek, bagaimana dengan anggota DPR lainnya yang jauh dari sorotan pers, jangan-jangan mereka lebih ganas lagi. Penilaian publik semacam ini wajar saja, dan tidak bisa publik disalahkan,” katanya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) itu menegaskan Ketua DPR merupakan simbol lembaga. Saat simbol ini ternoda otomatis lembaga DPR juga ikut tercoreng. Meskipun tidak semua anggota DPR berkelakuan sama dengan pimpinan DPR. Ia menilai banyak anggota DPR yang baik, ikhlas dan lurus, namun anggota semacam ini akhirnya ikut ternoda dalam sandera penilaian publik yang terus miring.
“Dalam sandera publik yang tidak menguntungkan citra DPR semacam itu, maka wajar jika yang disebut pergantian ketua DPR itu sesungguhnya juga harus meliputi pergantian wakil-wakil ketua DPR. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh lainnya pasti merasakan sakit. Jika kaki tersandung batu saat berjalan kaki atau lari, maka suluruh anggota tubuh lainnya pasti ikut terjerembab saat terjatuh,” imbuhnya.
Makna kedua yakni sistem paket dalam pemilihan pimpinan DPR harus diluaskan pemahamannya. Sistem paket itu artinya pimpinan DPR dipilih secara kolektif kolegial, tidak dipilih secara sendiri-sendiri. Jika seseorang terpilih sebagai Ketua DPR berarti di dalamnya ikut serta beberapa wakil ketua secara otomatis.
“Logika ini mestinya berjalanan paralel pada saat salah satu pimpinan mundur atau jatuh, maka pimpinan yang lain semestinya mundur juga. Karena mereka naik sebagai pimpinan DPR tidak secara sendiri-sendiri tapi bersama-sama, maka wajar jika turun pun harus bersama-sama,” jelasnya.
Yanuar menuturkan dalam sistem paket, kekompakan dan pertanggungjawaban kolektif adalah kata kunci penting yang seharusnya mengikat seluruh perilaku individu pimpinan DPR. Moral kelompok adalah nilai utama yang harus ditegakkan dalam sistem paket. Jika salah satu pimpinan itu berperilaku menyimpang, maka sama artinya pimpinan yang lain telah gagal membangun moral kelompok. “Mereka juga harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan mengendalikan perilaku menyimpang dari sesama pimpinan DPR,” ujarnya.
Dalam pemahaman semacam itu, maka dapat dinilai wajar bila penggantian Ketua DPR semestinya diikuti pula oleh pergantian wakil-wakil Ketua DPR. Wakil-wakil Ketua DPR, menurut Yanuar, tidak bisa cuci tangan atas perilaku menyimpang dari Ketua DPR. Sebagai pimpinan, mereka itu satu paket, dipilih dan ditetapkan secara paket bersama-sama. “Mereka boleh tidak bertanggungjawab atas perilaku menyimpang dari salah satu pimpinan DPR jika mereka sebelumnya dipilih secara sendiri-sendiri, bukan dalam kesatuan paket pimpinan,” imbuhnya.
Namun, ia juga melihat penerapan roh sistem paket semacam itu terkendala oleh UU MD 3 sendiri (UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang proses pemilihan dan pergantian pimpinan DPR dirancang tidak sinkron. Saat pemilihan menggunakan sistem paket, namun pada saat pergantian tidak berlaku sistem paket. Jika ingin menegakkan logika berpikir yang normal dan sehat, Yanuar menegaskan tidak ada pilihan lain UUD MD 3 harus direvisi. “Saat ini momentum terbaik untuk mengambil langkah cepat guna memulihkan citra DPR melalui proses baru pemilihan dan penetapan pimpinan DPR,” tuturnya.
Ada dua pilihan dari arah revisi UU MD3. Pertama, kembali ke sistem porporsional sebagaimana terjadi dalam periode DPR 2009-2014 di mana partai pemenang pemilu otomatis jadi Ketua DPR. Wakil-wakil ketua otomatis diisi oleh partai peraih suara terbanyak berikutnya. Pilihan ini mungkin kurang diminati oleh partai-partai kecil yang peluangnya menjadi tertutup untuk jadi pimpinan DPR. “Bisa dikatakan sistem proporsional agak sulit untuk dijadikan pilihan saat ini jika kuota pimpinan hanya 5 kursi,” kata yanuar.
Alternatif kedua, adalah tetap menggunakan sistem paket sebagaimana dilakukan pada pemilihan pimpinan untuk periode DPR saat ini. Hanya saja cara ini berpeluang menciptakan kegaduhan baru di DPR. Partai-partai yang sekarang memegang kursi pimpinan pastilah akan berusaha keras untuk mempertahankan diri. Namun pada sisi lain, partai-partai yang tidak mempunyai kursi pimpinan akan berjuang sekuat tenaga untuk merebut kursi pimpinan DPR. “Pada akhirnya akan terjadi kemelut baru, jika tidak terkendali bisa lebih parah dari kemelut sebelumnya. Dan jika ini terjadi maka makin rusaklah citra DPR di mata publik,” katanya.
Lantas bagaimana caranya, pimpinan DPR berganti tapi minim kegaduhan?
Menurut Yanuar, semua pihak harus keluar dari dua pilihan ekstrim itu, kita perlu terobosan baru. Norma baru harus ditetapkan, bahwa jabatan pimpinan DPR adalah hak setiap fraksi di DPR tanpa tergantung lagi pada perolehan kursi setiap partai. Jika di DPR itu ada 10 fraksi, maka kursi pimpinan DPR jumlahnya juga 10 terdiri dari 1 ketua dan 9 wakil ketua. Ini berarti setiap fraksi punya hak otomatis untuk menduduki jabatan pimpinan DPR. Setiap fraksi mengirimkan 1 orang wakilnya untuk duduk di kursi pimpinan DPR. “Jika ada salah satu pimpinan mundur, berhenti atau jatuh, maka ini urusan fraksi bersangkutan untuk menggantinya tanpa harus lagi menjadi urusan semua fraksi,” imbuhnya.
Untuk kondisi politik saat ini, Yanuar melihat cara demikian lebih membawa kebaikan. Pertama, konflik antar fraksi di DPR akan jauh berkurang. Konflik memang masih mungkin terjadi, namun sudah dieliminir hanya sebatas aturan main untuk memilih dan menetapkan ketua DPR. Dalam format pimpinan DPR semacam itu, maka ketua DPR bisa dipilih dan ditetapkan melalui dua alternatif cara, yaitu otomatis dipegang oleh partai pemenang pemilu atau dilakukan voting dipilih langsung oleh anggota DPR dalam Rapat Paripurna. Fraksi yang mempunyai hak mencalonkan Ketua DPR dibatasi hanya dua partai saja yang urutan kursinya terbanyak. “Ini sikap gentleman untuk mengakui dan menghormati prestasi dua partai terbesar dalam pemilu,” katanya.
“Jumlah pimpinan DPR sebanyak 10 orang bukan dipahami dalam semangat bagi-bagi jabatan, tapi lebih ditekankan pada pengkondisian agar pimpinan DPR bisa berbagi tugas dalam sektor-sektor yang lebih terbatas, fokus dan detail,” katanya.
Wacana kocok ulang itu tidak disetujui Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto. Ia menyatakan pihaknya tidak menginginkan kegaduhan.“Kalau PAN biar enggak gaduh ribut serahkan ke Golkar,” katanya.
Ia mengatakan wacana kocok ulang berpotensi menimbulkan kehaduhan yang tak kunjung selesai. Bahkan publik akan menilai DPR hanya meributkan persoalan Ketua DPR. “Jadi kalau Pak Nov dari Golkar ya diserahkan kepada Golkar. Jadi Ade Komaruddin tepat lah,” kata Yandri.
Anggota Komisi II DPR itupin optimis kinerja legislasi DPR akan membaik pascalengsernya Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Pasalnya, bila kinerja rendah seperti 2015, maka DPR akan terus terpuruk.“Ketua DPR baru, momentum tahun baru, saya yakin betul 2016, dijadikan kilas balik lebih ya lebih berprestasi, jangan diributin reses enggak jelas. Optimis kalau enggak tambah terpuruk. Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR harus menepati janjinya,” tuturnya.
Pengamat Politik Paramadina Hendri Satrio memiliki pendapat mengenai kinerja DPR paska Novanto mundur. Ia menilai publik tidak dapat berharap banyak dalam komunikasi politik antara pemerintah dengan parlemen.Walaupun wajib hukumnya rakyat menjaga harapan.
“Bagaimana tidak di penghujung tahun Pansus DPR untuk kasus Pelindo 2 langsung bersuara lantang meminta Presiden mengganti menteri BUMN, Rini Soemarno. Kendati nama Rini sudah sering dilambungkan oleh berbagai lembaga survei sebagai menteri yang layak di evaluasi Presiden bersama nama lain seperti Jonan, Sudirman, Yudy, Amran, Puspayoga, Saleh, Imam dan nama lainnya, tetap saja rekomendasi ini membuat telinga pemerintah panas,” kata Hendri.
Belum reda tudingan ini, kata Hendri, muncul lagi suara pribadi dari anggota DPR fraksi PDIP yang meminta Wapres JK mundur dari jabatannya.Saat era Setya Novanto menjadi ketua DPR, suka atau tidak suka, kata Hendri, politikus golkar itu mampu membuat hubungan antara legislatif dan eksekutif cair dan cukup harmonis. Salah satu contohnya adalah tidak ada tantangan yang berarti saat dewan menyetujui APBN 2015 dan 2016.
Dengan berakhirnya era Novanto sebagai ketua DPR nampaknya DPR akan kembali menemukan perdebatan saat munculnya DPR tandingan akhir tahun 2014 lalu. Memang, katanya, ada sinyal dari pemerintah dan partai pendukung pemerintah untuk tidak ada kocok ulang, namun politik sangat cair. Bahkan hingga kini dibuat DPR belum bersepakat pada ketua DPR yang baru pengganti Setnov.
“Kita belum membicarakan 4 fungsi DPR di atas. Namun nampaknya DPR akan menemukan pekerjaan rumah yang masih sama dengan 2015 dan saya agak yakin bahwa permasalahan serta citra lembaga ini akan tetap berada di papan bawah,” kat Hendri
“Tapi apakah kita masih boleh berharap? Nah, jawabannya cuma satu, harus berharap! Bila masih gagal bagaimana? Ya, tetap harus berharap, namanya juga mencari harapan jadi ya harus terus berharap, coba lagi dan coba lagi,” tambahnya.
Sedangkan Politikus Fayakhun Andriardi menilai lengsernya Novanto tidak terkait dengan kinerja DPR. Fayakhun melihat konsolidasi golkar dapat mempengaruhi kerja-kerja DPR. Suka atau tidak, Golkar merupakan partai besar.
“Saya enggak boleh sombong memang sepertinya dalam persoalan konsolidasi internal, Golkar partai besar, kader jago banyak. Dalam kondisi tidak menentu kinerjanya tidak optimal ada benang merah,” imbuh Fayakhun.
Namun, ia optimis tahun 2016 kinerja DPR membaik. Fayakhun menganalisa pola pada periode-periode sebelumnya. Dimana satu atau dua tahun pascapelantikan anggota DPR merupakan masa transisi. Apalagi adanya anggota baru DPR yang masih membutuhkan penyesuaian. “Tahun pertama anggota baru proses, tahun kedua ketiga cepat, dulu waktu bingung ada partai besar melakukan guidance,” imbuhnya.
Sementara Politikus Gerindra Nizar Zahro mengakui DPR dituntut untuk dapat menyelesaikan semua RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas. Tuntutan tersebut tentu saja sulit dipenuhi. Pertama, DPR pascareformasi berbeda 180° dengan DPR masa Orde Baru. “Dulu, proses legislasi sebatas prosedural, sebagai tukang stempel undang-undang yang di-inisasi pemerintah. Sehingga tidak heran, DPR periode itu selalu dapat menyelesaikan seluruh RUU yang direncanakannya,” kata Nizar.
Sekarang, katanya, proses legislasi lebih substansial, undang-undang dicermati dan diperdebatkan terlebih dahulu sebelum ditetapkan. Sehingga masuk akal bila tidak semua undang-undang bisa diselesaikan sesuai tenggat waktu yang telah disepakati.
Kedua, Dewan terkendala oleh ketidak-sinkronan waktu antara penetapan Prolegnas, penetapan anggaran, dan Laporan Kinerja DPR RI. Laporan kinerja DPR RI disampaikan pada setiap Tahun Sidang (16 Agustus–15 Agustus tahun berikutnya) sementara Prolegnas setiap tahun ditetapkan berdasarkan tahun takwim (Januari–Desember). Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014 akan selesai pada bulan Desember, sementara laporan kinerja disampaikan bulan Agustus.
“Pengaturan waktu yang tidak ‘pas’ ini menyebabkan DPR, di dalam Laporan kinerjanya seolah-olah gagal menuntaskan semua ‘pekerjaan’nya..khusus legislasi DPR RI kita memang merasakan sangat kurang dari target akibat belum ada kesepahaman antara pemerintahdan DPR RI guna mempercepat proses legislasi dan untuk tahun 2016,” tutur Anggota Komisi V DPR itu.