Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, demi keadilan dan citra pengadilan konstitusi (constitutional court), sebaiknya Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah peraturannya mengenai ketentuan perbedaan perolehan suara hasil Pilkada.
"Kalau MK menentukan diproses atau tidaknya suatu permohonan diukur atau berpatokan pada hasil penghitungan suara KPU, maka itu artinya MK sudah lebih dahulu membenarkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU," kata Said lewat pesan singkat kepada Tribunnews.com, Senin (4/1/2016).
Said mengatakan, sejatinya pengadilan mengenai perselisihan hasil Pilkada justru diadakan dalam rangka menguji kebenaran dari hasil penghitungan suara oleh KPU.
Menurutnya, kalau selisih suara yang disidangkan oleh MK adalah selisih antara perolehan suara pasangan calon pemenang dan perolehan suara pasangan calon yang kalah berdasarkan penetapan KPU, itu sama saja artinya MK sudah sedari awal membenarkan hasil penghitungan KPU.
"Saya khawatir MK akan dianggap sudah mengambil posisi di pihak KPU sebelum persidangan digelar," katanya.
Said menyebutkan, Paslon yang kalah berdasarkan penetapan KPU itu maju ke MK justru dalam rangka ingin menunjukkan kepada Hakim Konstitusi bahwa hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU keliru atau tidak benar, baik karena alasan kualitatif maupun kuantitatif.
"Jadi, saya kira aturan itu tidak tepat. Saya sudah berusaha mengingatkan soal ini kepada MK sejak beberapa bulan lalu, tetapi rupanya MK kukuh membuat aturan yang berbeda dengan ketentuan UU Pilkada," katanya.
Untuk itu dia ingin mengetuk hati para Yang Mulia Hakim Konstitusi agar mengubah peraturan mereka yang telah membelenggu para calon kepala daerah yang sedang mencari keadilan.
"Saat ini masih ada waktu bagi MK untuk menentukan prosentase perselisihan hasil perolehan suara Pilkada tidak merujuk pada hasil penetapan KPU, tetapi dihitung berdasarkan total suara sah di masing-masing daerah," kata Said.
Sebelumnya, sidang pemilihan kepala daerah (Pilkada), dimana MK membuat aturan yang menentukan prosentase perselisihan suara itu antara suara pemenang dan suara yang kalah berdasarkan penetapan KPU.
Aturan itu dinilai tidak tepat, sebab Undang-Undang (UU) menentukan prosentase perselisihan suara berdasarkan pada total perolehan suara.
Adanya perbedaan ketentuan UU dan Peraturan MK menyebabkan ketidakpastian hukum dan membatasi peluang Paslon yang kalah untuk mencari keadilan.