Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabar perombakan (reshuffle) Kabinet Jilid II kembali berhembus kencang.
Salah satu menteri yang gencar diberitakan akan diganti adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga kader Partai NasDem, Siti Nurbaya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Public Policy Institute (IPPI) Agung Suprio menilai, sebagai salah satu pos kementerian strategis, sebaiknya Presiden Jokowi memilih Birokrat karir berpengalaman dari internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Menteri.
Hal ini karena kepemimpinan kader partai politik di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dianggap belum maksimal menjalankan tugas yang dipercayakan Presiden.
Contohnya yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah mencegah dan apalagi mengatasi kebakaran hutan yang berlangsung Juli sampai November 2015 lalu.
“Sejak pemerintahan sebelumnya sampai saat ini, masalah Kehutanan dipercayakan pada kader parpol dan kebakaran hutan kembali terulang. Sekarang saatnya Presiden Jokowi mempercayakan posisi Menteri LH dan Kehutanan pada kalangan non-parpol yakni Birokrat karir yang memahami betul seluk beluk masalah kehutanan dan lingkungan hidup,” kata Agung melalui pesan singkatnya, Senin (4/1/2015).
Menurut Agung yang juga Ketua Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini, keunggulan dari memilih birokrat karir dari internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai menteri adalah pemahaman yang komprehensif mengenai masalah-masalah hutan dan lingkungan.
Agung mengatakan, presiden tidak perlu khawatir mengenai kemampuan komunikasi birokrat dengan para politisi di Senayan. Faktanya, mereka sudah terbiasa melaksanakan rapat dengan DPR dan beberapa diantaranya bahkan mempunyai kemampuan komunikasi yang lebih baik dengan partai politik di dewan, ketimbang menteri terkait.
Modal penting lain adalah jaringan yang kuat dengan birokrasi bidang kehutanan dan lingkungan hidup di daerah. Hal ini tentu memudahkan koordinasi antara pusat dengan daerah dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
“Alasan penting lainnya adalah birokrat bebas dari kepentingan politik. Kalau untuk Menteri Pekerjaan Umum (PU) saja Presiden berani memilih birokrat karir, kenapa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak? Padahal masalah Kehutanan dan Lingkungan Hidup tidak kalah strategis dari PU,” ujarnya.
Agung juga mendukung sepenuhnya wacana penambahan pos wakil menteri untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurutnya, beban kerja Kementerian LHK membutuhkan pembagian kerja yang jelas dan fokus masing-masing untuk bidang Kehutanan dan Lingkungan hidup.
“Masalah di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup membutuhkan pembagian tugas yang jelas, fokus, dan terarah. Jika pemisahan kembali dua kementerian dianggap pemborosan, maka penambahan pos wakil menteri adalah solusi yang paling relevan untuk saat ini,” ucapnya.
Seperti diketahui kebakaran hutan 2015 lalu merupakan salah satu yang terparah. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mencatat lebih dari 2 juta hektar lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan terbakar.
Data dari Bank Dunia juga mengungkapkan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan mencapai Rp 221 Triliun. Angka tersebut dua kali lebih besar dari kerugian akibat peristiwa Tsunami di Aceh tahun 2004 lalu.