Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pilkada serentak 2015 di sejumlah daerah sudah terlaksana namun meninggalkan beberapa catatan penting, Jumat (8/1/2016).
Peneliti dari Sinaksak Center, Osbin Samosir memberikan evaluasi event demokrasi lima tahunan tersebut.
Satu di antaranya soal sengketa pencalonan.
Kepada Tribunnews.com, seluruh sengketa pencalonan baik pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota semestinya diserahkan kepada Bawaslu Provinsi yang secara kelembagaan sudah bersifat mandiri dan tetap dengan masa kerja lima tahun namun ini tidak.
Menurutnya kewenangan sengketa pencalonan dalam Pilkada justru diberikan kepada Panwaslu Kabupaten-Kota karena masa kerja mereka bersifat sementara (adhoc).
Lebih lanjut menurutnya indikator keberhasilan Pilkada 2015 adalah kepuasan rakyat terhadap penyelenggara Pilkada sebagaimana dijelaskan dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Ia menillai kesemrawutan penyelenggaraan Pilkada serentak inilah yang mengundang begitu banyak protes dari para peserta.
Sejumlah besar Panwaslu Kabupaten/Kota diduga tidak cakap dalam bersidang dan tidak adil dalam memberi putusan sengketa.
“Tidak terpenuhinya kemampuan menjadi pengadil yang mumpuni, kinerja Panwaslu mengakibatkan kekacauan Pilkada," ujar Doktor Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Dan akhirnya, kata dia, yang keluar adalah permakluman atas kinerja buruk panwaslu karena mereka tidak didesain untuk ahli sebagai hakim dalam bersidang.
"Seharusnya pemerintah mempersiapkan para pihak yang berperan sebagai panwaslu."
"Dan untuk menjadi cakap sebagai hakim, diperlukan tahunan pendidikan dan pengalaman, seperti para hakim Tata Usaha Negara” ujarnya.
Osbin menambahkan, asal mulanya terjadinya kesalahan terkait dengan Panwaslu Kabupaten/kota yang datang dari undang-undang adalah yang pertama segi masa kerja Panwaslu Kabupaten-Kota yangbersifat sementara (adhoc) yakni hanya sepanjang masa tahapan Pilkada dimaksud, setelah pilkada selesai maka selesai juga masa kerja mereka.
Tidak ada kesempatan yang panjang dan lama bagi Panwaslu Kabupaten-Kota untuk belajar dan memahirkan diri sebagai hakim seperti dilakukan hakim-hakim di Pengadilan Negeri atau Peradilan Tata usaha Negara.
“Kekeliruan yang kedua adalah, putusan sengketa oleh Panwaslu Kabupaten-Kota yang bersifat final dan mengikat (final and binding)," jelasnya.
Padahal mereka tidak pernah dipersiapkan secara memadai menjadi hakim.
Untuk itu, menurutnya, sulit mengharapkan kualitas putusan yang adil dan diterima semua pihak dari majelis (Panwaslu) yang tidak paham proses dan tata beracara persidangan, sementara pertarungan pilkada adalah pertarungan para raksasa politik tingkat lokal dengan restu tingkat nasional.