TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq menilai Indonesia tidak kekurangan perangkat untuk mengantisipasi tindakan terorisme.
Menurut dia dari segi hukum dan aparat, Indonesia sudah memiilkinya.
Indonesia memiliki UU terorisme dan perangkatnya yakni Badan Intelijen Negara, Densus 88, Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) dan TNI dalam prinsip perbantuan.
Hanya saja, kata Mahfudz, belum ada kordinasi yang baik antara lembaga penegak hukum yang bertugas untuk menangani tindakan terorisme.
Mahfudz pun mencontohkan soal kewenangan yang dipersoalkan BIN.
Menurut dia, BIN tidak perlu meminta tambahan kewenangan untuk menangkap terduga teroris.
Kata dia, BIN tinggal berkoordinasi dengan Polri untuk menahan seseorang untuk diperiksa.
"Apa susahnya BIN dengan Polri telpon-telponan? 'Eh ini ada suspek kita ingin interogasi'. Lalu polisi bisa melakukan penahanan sementara," kata Mahfudz saat diskusi bertajuk 'Di Balik Teror Jakarta' di Jakarta, Sabtu (16/1/2016).
Lagipula, kata dia, jika polisi yang menahan, maka publik bisa memantau proses tersebut terkait akuntabilitas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, kata dia, apabila BIN yang menahan, tidak ada yang bisa memastikan apakah orang tersebut dibebaskan atau tidak.
"Intelijen dalam aksinya adalah tertutup. Jadi kalau nahan orang harus tertutup, Kalau Polri harus terbuka sehingga akuntabilitas harus bisa dipertanggungjawabkan. Prinsip penegakan hukum yang kita bangun adalah ada orang yang ditahan tapi publik tidak tahu dan tidak ada yang tahu ini orang balik atau enggak," kata dia.
Menurut Mahfudz, adanya peristiwa bom yang terjadi khsususnya di kawasan Sarinah Kamis lalu menegaskan instumen antiteror di Indonesia belum maksimal dalam penggunannya.
"Kenapa masih terjadi? Sekarang ini instrumen-instrumen yang ada belum dimaksimalkan penggunaannya," tukas dia.