TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Kalau saya menunggu body vest, berapa banyak orang yang akan mati,".
Pernyataan itu disampaikan Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Martuani Sormin.
Dia mengenang teror di Sarinah, Jakarta Pusat pada Kamis (14/1/2016) yang menewaskan 8 orang.
Keputusan cepat harus diambil mengingat dia berhadapan dengan empat orang terduga teroris.
Naluri sebagai anggota polisi membuatnya berupaya mengamankan masyarakat, meskipun nyawa menjadi taruhan.
Kepada wartawan, dia memperlihatkan sebuah majalah memuat sederat foto-foto insiden teror menewaskan delapan orang itu.
Dia menunjuk-nunjuk tempat berdiri dan bergerak saat peristiwa itu terjadi.
Dia tak tahu mana lawan dan kawan. Semua insiden yang membahayakan nyawa itu masih diingat.
"Saya pertama datang dan memerintahkan evakuasi. Saya tak tahu, dia bilang 'tolong pak, tolong' kata anggota polisi di pos polisi. SOP bom kan harus ditutup, kemudian saya menolong polisi," tutur Martuani kepada wartawan ditemui di Mapolda Metro Jaya, Senin (18/1/2016).
Dalam peristiwa penanganan oleh aparat kepolisian, kata dia, diutamakan penanganan korban masih hidup.
Oleh karena itu, dia menyelamatkan anggota polisi itu. Lalu, dia memerintahkan anggota menutup tempat kejadian perkara (TKP).
Semula dia tak mengetahui insiden apa di tempat itu. Senjata api masih dipinggang. Setelah Rais tertembak, dia bingung menentukan korban itu meninggal atau tidak.
Lalu, terduga teroris menembak anggota Provost. Setelah ada penembakan, dia sadar para pelaku bersenjata.
Dia memimpin aparat kepolisian untuk menumpas pelaku dari Starbuck Coffee.