Dia menilai para pelaku itu meniru insiden peledakan bom di Paris. Di kesempatan itu, dia menyayangkan warga sipil dan awak media yang berada di dekat peristiwa penembakan.
Ini membuat kesulitan aparat kepolisian menentukan pelaku atau sipil.
"Saya belum paham dia nembak. Ini Alif dan Afif masih ngobrol. Saya menolong anggota pospol, ini (Ali) menembak. Rupanya dia melakukan. Ketiga, tertembak Rais. Dia habis nembak ini (Rais). Ini Afif. Ini Untung (AKBP Untung Sangaji,-red). Ini mengerikan. Saya baru tahu Untung polisi. Sebelumnya gak tahu," kata dia.
Setelah mengetahui AKBP Untung Sangaji merupakan aparat kepolisian, dia meminta Untung untuk melindungi dia di bagian belakang.
Sementara, sopir Martuani membawa senjata api berada di sisi kiri. Dia mengaku menghabiskan 2 magazine untuk menumpas teror.
Satu magazine berisi 11 peluru. Penanganan teror berlangsung selama 10 menit setelah Rais tertembak.
Dalam kondisi seperti itu, menurut dia, harus dilakukan penindakan cepat. Sehingga, dia tak memperdulikan standar operasional (SOP) penanganan teror. Apalagi menunggu memasang rompi anti peluru. Apabila memaksakan memasang rompi, maka bisa saja korban pihak sipil bertambah banyak.
"Kalau saya menunggu ropi, ya wassalam. Di mobil saya juga rompi anti peluru. Kalau SOP harus bawa. Kalau penindakan itu kan di film-filim yang kita skenario kan akan ditembak. Itu spontan," tambahnya.
Sebagai upaya mengantisipasi insiden serupa, maka Martuani membawa senjata api. Di pinggang terdapat dua magazine. Dia sempat memperlihatkan itu kepada wartawan.