TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboebakar Alhansy menilai, rencana revisi UU Terorime belum terlihat urgensinya.
Misalkan saja, kata Aboebakar, adanya usulan untuk memberikan kewenangan kepada BIN untuk melakukan penangkapan, ini adalah usul yang misleading.
"Di negara manapun fungsi lembaga inteljen adalah pengumpulan informasi dan melakukan analisis situasi bukan fungsi penindakan. Oleh karena perluasan kewenangan penanganan teroris kepada lembaga inteljen tidaklah tepat," ujarnya, Jumat (22/1/2016).
Sedangkan usul lain untuk memperluas kewenangan kepolisian dengan memperpanjang masa penahanan dari 1 minggu menjadi 2 minggu, katanya, juga belum diperlukan.
Ditegaskan, hal ini mengingat banyaknya pihak yang melaporkan bahwa mereka merupakan korban salah tangkap dari Densus. Rentan waktu satu pekan untuk menggali informasi dan memverifikasi informasi dari terduga teroris adalah waktu yang lebih dari cukup.
"Coba kita bandingkan dengan Bom Sarinah, hanya perlu waktu beberapa jam saja pihak kepolisian sudah bisa menyimpulkan bahwa teror tersebut dilakukan oleh jaringan ISIS. Kemudian tak sampai setengah hari dapat disimpulkan bahwa yang melakukan pengeboman adalah jaringan Bahrun Naim," papar Aboebakar.
Meskipun semua teroris mati tertembak, lanjutnya, namun aparat dengan cepat dapat mengurai dan menyimpulkan pelaku teror.
Oleh karenanya waktu 7x24 jam yang selama ini diberikan oleh UU Anti Terorisme sudah lebih dari cukup untuk memverifikasi informasi dari terduga teroris yang ditangkap.
Dikatakan, selama ini komisi III banyak menerima masukan dan komplain mengenai pola pemenuhan protap yang dilakukan oleh Densus dalam penangkapan terduga teroris.
"Saya kira ini adalah isu yang seharusnya menjadi fokus lebih utama, bagaimana memperbaiki kinerja dengan aturan main yang sudah ada," tegas Aboebakar.
Selain persoalan salah tangkap dan perlindungan HAM untuk masyarakat, imbuh Aboebakar, banyak hal yang menjadi pertanyaan masyarakat dan seharusnya menjadi evaluasi dalam persoalan kontra terorisme di Indonesia.
Misalkan saja, sambun Aboebakar lagi, kenapa sebelum lahir Densus 88, penangan perkara terorisme bisa diurai sampai akar, sedangkan setelahnya pada terduga teroris selalu mati di lokasi.
Misalkan saja penanganan Bom Bali I, aparat sukses menggiring semua pelaku, menghadapkan ke pengadilan dan mengeksekusi mati mereka sesuai aturan hukum yang ada.
Pertanyaan lainnya adalah, kenapa pula isu teorisme selalu dikaitakan dengan kelompok tertentu dan tidak berlaku untuk orang atau kelompok lain.
Yang lain, leophard yang melakukan empat kali pengeboman di Mall Alam Sutera tidak pernah di sebut teroris. Demikian pula Kelompok di Papua yang menyerang dan mengebom aparat hingga menewaskan 3 orang polisi, mereka juga tak pernah disebut teroris hanya dilabeli dengan sipil bersenjata.
"Padahal yang dilakukan juga teror, dan juga menyerang aparat keamanan. Saya kira ini semua menjadi PR aparat untuk melakukan penegakan hukum secara adil dan jujur," tegas Aboebakar.