TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai bahwa pembatasan sengketa pilkada pada pasal 158 merupakan hal yang tidak rasional dalam membatasi sengketa pilkada serentak.
Buktinya, sebanyak 98 sengketa pilkada digugurkan karena tidak memenuhi syarat tersebut.
"Kalau bicara konstitusionalisme pasal 158 tidak rasional, pasal itu membuka orang mendapatkan suara dengan cara yang tidak sah," ujarnya saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Senin (1/2/2016)
Margarito menjelaskan di dalam hukum tidak boleh seseorang yang meminta hak didasarkan atau diberikan atas cara melawan hukum sehingga terjadi ketidakrasionalan dari hukum konstitusionalitas dan hal tersebut tertera dalam pasal 158.
Jika pasal 158 tersebut tidak segera diubah dalam revisi UU No 8 Tahun 2015, Margarito mengatakan bahwa akan banyak pasangan calon yang melakukan kecurangan yang sangat besar untuk melampaui batas yang sudah ditentukan oleh MK.
Dia juga mengatakan jika banyak pihak berpendapat bahwa proses pilkada tersebut panjang dan mahal, hal tersebut merupakan konsekuensi logis karena konstitusi tidak mengenal efektifitas dan efisiensi, hanya mengenal akuntabilitas saja.
"Itu konsekuensi konstitusi yang tidak mengenal efektivitas dan efisiensi. Konstitusi hanya mengenal akuntabilitas maka resiko logis saja kalau prosesnya menjadi panjang dan berbelit, tidak efisien dan mahal," katanya.
Margarito juga mengatakan bahwa pasal tersebut bukan hanya tidak mengakomodir prinsip keadilan bagi seluruh pasangan calon, tapi sudah 'mengangkangi keadilan yang ada. Serta menjadi benteng bagi calon kepala daerah yang tidak memiliki kualitas.
"Benteng bagi para pecundang karena memungkinkan pecundang jadi kepala daerah. Pokoknya anda curang saja sampai melebihi dua persen, sudah tidak bisa. Celaka pasal ini," tegas Margarito.