TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), dibangun agar keputusan dapat diambil tanpa intervensi. Namun demikian, mekanisme yang ada juga bisa dikatakan tidak efisien menurut peneliti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani.
Sistem yang tidak efisien itu, bisa jadi merupakan celah bagi pihak yang berperkara, untuk meluluskan keinginannya melalui praktik suap, seperti yang telah menjerat Kasubdit Kasasi dan PK Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna.
Kepada wartawan di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Minggu (21/2/2016), Julius mengatakan dalam prosesnya, berkas suatu perkara harus melalui 27 tahapan, yang melibatkan tiga unit kerja. Padahal ada sejumlah hal yang diulang di sejumlah tahapan dan seharusnya bisa dipangkas.
"Penyederhanaan perlu dilakukan untuk memudahkan proses monitoring," ujarnya.
Proses minutasi atau proses pengetikan, seleksi, pembuatan salinan dan pengiriman, juga harus disederhanakan agar monitoringnya lebih mudah.
Selama ini putusan disusun dengan standar yang rumit, yang menyebabkan putusan tertentu bisa setebal sekitar 70 halaman. Padahal substansinya hanya sekitar 2-3 halaman, termasuk pertimbangan hakim. Proses tersebut boros Sumber Daya Manusia (SDM) dan boros kertas.
Pada setiap proses, seluruh orang yang berkepentingan menangani perkara, seperti Panitra Pembantu (PP), hingga ketua majelis, wajib mengkoreksi kesalahan pengetikan pada putusan.
"Bisa dibayangkan, betapa tidak efisiennya proses yang harus dilalui untuk menghasilkan beberapa halaman putusan," jelasnya.
Ketidakefisiensian itu membuat proses yang berjalan sulit untuk diawasi. Hal iti telah membuka celah bagi penjahat untuk melancarkan aksinya, seperti yang dilakukan Andri.
Andri ditetapkan tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena diduga terlibat suap, terkait penundaan penyerahan salinan putusan kasasi MA, atas kasus pembangunan dermaga labuhan haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008.