TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak PT Grand Indonesia membantah pembangunan Menara BCA dan Menara Kempinski dilakukan secara ilegal.
Humas PT Grand Indonesia, Dinia Widodo menyebutkan pembangunan dua gedung di atas lahan seluas 41.815 meter persegi telah sesuai kontrak build, operate, transfer (BOT).
"Kami hanya melakukan apa yang ada di perjanjian BOT tersebut," kata Dinia Widodo saat dihubungi, Rabu (24/2/2016).
Baca Berita Terkait : Kejaksaan Agung Usut Dugaan Korupsi Pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski
Dinia juga menyebutkan, PT GI dan PT Hotel Indonesia Natour/HIN (Persero) tidak memiliki perselisihan mengenai kontrak pembangunan tersebut.
"Dengan PT HIN hubungan baik sekali. Sebenarnya, mereka ada kantor juga di Menara BCA setahu saya," kata Dinia.
Sebagai informasi, Kejagung telah meningkatkan status kasus dugaan korupsi pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA pada 2004, ke tahap penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) nomor Prin-10/F.2/Fd.1/02/2016.
Dalam upaya menguak kasus ini, Kejaksaan telah memanggil Direktur Utama PT HIN Iswandi Said untuk dimintai keterangan.
Tim penyidik juga telah menggeledah Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Thamrin, Jakarta Pusat.
Dalam penggeledahan tersebut, tim Kejagung membawa sejumlah dokumen yaitu risalah rapat terkait kerjasama BOT (built, operation, transfer), dokumen pengembangan, proposal PT CKBI, dan rekap penerimaan kompensasi BOT.
Arminsyah menjelaskan awal mula perkara ini adalah adanya pembangunan dua tower yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski diluar perjanjian.
Dalam kontrak BOT yang ditandatangi 13 Mei 2004 lalu, hanya ada empat bangunan yang dibangun diatas tanah negara yang diterbitkan atas nama PT Grand Indonesia yaitu Hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, dan fasilitas parkir.
Selain itu, ada permasalahan perpanjangan kontrak kerjasama.
Awalnya, kontrak kerjasama hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004.
Tapi pada 2010, kontrak kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.
Serta permasalahan pengalihan kontrak dari PT Citra Karya Bumi indah kepada PT Grand Indonesia.
Masalahnya, sertifikat HGB diagunkan oleh PT Grand Indonesia kepada bank untuk memperoleh kredit.
Dengan adanya permasalahan tersebut diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,2 trilun.