TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diharapkan mampu menciptakan sebuah kebijakan alternatif lainnya dalam upaya pencegahan paham radikal dan terosisme di tanah air.
Salah satunya dengan mempersempit ruang gerak mereka yang pernah terkait dengan kegiatan bersifat terorisme tersebut.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais dalam Diskusi Publik bertema "Peran Media Alternatif Dalam Kajian Revisi UU Terorisme Upaya Menangkal Radikalisme Dikalangan Generasi Muda" yang di selenggarakan Social Media for Civic Education atau SMCE di Gedung Dewan Pers jalan Kebon Sirih Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Hanfi pun menyarankan pemerintah, selain melakukan pencegahan juga harus membangun kebijakan preventif lain.
"Jadi, kalau ada mereka (terduga teroris) yang pernah latihan perang atau keluar dari penjara, harus dilihat apakah akan mengulang lagi," katanya.
Karena itu, lanjut politisi PAN ini pergerakannya harus dibatasi, atau bila perlu masuk dalam data tidak boleh terbang.
"Dengan begitu kesempatan membuat terorisme yang lebih vulgar bisa lebih dikurangi," ujarnya.
Dia menuturkan bahwa terorisme di tanah air sebenarnya bukan lah yang baru lagi, tetapi sudah sejak lama hadir di Indonesia.
Hanya saja, cara-cara yang dilakukan terorisme saat ini mengambil bentuk yang berbeda ataudikenal dengan terorisme kontemporer dimana metode yang dipakai adalah berbasis IT seperti sosial media (sosmed).
Selain murah, propaganda yang dilakukan melalui sosmed ini dinilai sangat efisien dan user friendly sehingga mempermudah siapa pun untuk mengakses konten yang berbau radikalisme dan terorisme.
"Kalau dulu, aksi terorisme ditujukan pada urusan antar negara. Namun di era modern saat ini, aksi yang kerap menimbulkan korban jiwa itu. Selain itu, dilakukan sebagai simbol perlawanan individu terhadap aparat atau terhadap simbol-simbol barat," katarnya.
Menyadari adanya potensi ancaman yang besar dari sosmed, Hanafi meminta kepada pemerintah untuk tidak tinggal diam dengan membentuk tim khusus yang bertugas melawan balik propaganda-propaganda jahat yang mengancam eksistensi bangsa.
"Maka yang harus dibangun adalah narasi tandingan dari elemen masyarakat sipil dan negara agar mereka yang sempat atau hampir tertarik meragu dan tidak lagi tertarik atau membenci terorisme itu sendiri, seperti yang dilakukan di Amerika dan Eropa," ujarnya.
Kadensus 88 Mabes Polri BrigJen Pol Eddy Hartono menilai, dalam memerangi terorisme di Indonesia tidak lah cukup hanya dengan melakukan revisi terhadap UU terorisme.
Namun yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana kita melandasi persepsi tentang radikal khususnya terhadap ajaran agama.
"Harus ada strategi perubahan rencana dan memberikan pemahaman ulang, kepada mereka yang di pesanteren dan sekolah tentang radikalisme," ujarnya.
Menurutnya, penggunaan sosmed secara maksimal dalam upaya mempersempit pergerakan terorisme di Indonesia akan sangat memberikan dampak yang signifikan serta menghindari lebih banyak lagi jatuhnya korban propaganda di Indonesia.